14 | Kenyataan

35 4 0
                                    

Saat ini Riksa sudah kembali pulang setelah tadi ia mengantarkan Clara. Setelah ia turun dari motornya yang berada di garasi, ia menuju ke depan rumah dan hendak memegang kenop pintu. Namun, tiba-tiba saja papanya muncul dari samping rumah sambil bersidekap dada.

"Bagus, ya. Papa tinggal kamu malah asyik-asyikan pacaran." Ia menepukkan tangannya beberapa kali hingga menimbulkan suara.

Riksa refleks menoleh ke arah sumber suara. Ia merasa bersalah sekaligus takut sekarang. Bagaimanapun dirinya di sini hanya menumpang.

Mama dan adiknya tadi juga sempat kaget dengan kehadiran Rezvan yang secara tiba-tiba. Saat Riksa dan Clara sudah pergi dari hadapan mereka Rezvan tiba-tiba muncul dan membuat mereka berdua terkejut.

"Papa." Riksa panik menatap papanya. Jika tau papanya akan kembali maka ia tak akan mengajak Clara ke rumahnya hari ini.

Pria itu semakin marah kala melihat gelagat aneh dari anak angkatnya.

"Papa sudah memperingatkan kamu Riksa! Dan sekarang kamu melanggar ucapan Papa?" Rezvan mendekat ke arah Riksa yang masih membatu di tempat.

"Sudah berapa lama kamu berpacaran dengan dia?"

Riksa masih bergeming. Lidahnya terasa kelu untuk menjawabnya dan sangat takut untuk menjawab pertanyaan dari papanya.

"JAWAB RIKSA! KAMU BISU?!"

"Lima bulan," jawabnya lirih.

Pria berumur empat puluh tahun itu menatap Riksa dengan tatapan tajamnya. Ia benar-benar kecewa dengan anaknya kali ini. Padahal ia sudah memperingatkan Riksa untuk tidak berpacaran sebelum lulus. Namun, Riksa justru melanggarnya.

"Kamu tau kan status kamu di rumah ini siapa? Kalau bukan karena Nela yang mengelu-elukan ingin mempunyai anak laki-laki saya tidak sudi memungut kamu."

Riksa semakin tertunduk. Rasanya cukup sakit ketika ia mendengar pernyataan itu keluar dari mulut papanya.

Ia tidak bisa jika harus melepaskan Clara. Baginya Clara adalah dunianya. Tidak mungkin jika ia akan memutuskannya begitu saja. Tentu saja ia tidak akan rela.

Lima belas tahun lalu

"Selamat, anak anda perempuan," ucap seorang bidan yang menangani Nela saat melahirkan.

Ia meraih putrinya yang baru saja lahir untuk ia gendong. Bayinya cantik, sangat cantik. Di sebelahnya ada Rezvan yang selalu setia menemaninya dari awal hingga ia berhasil melahirkan sosok malaikat secantik itu.

Vanessa Lily Valerie itulah nama yang diberikan Rezvan untuk anak pertamanya. Nama yang sangat cocok untuk anaknya.

Vanessa memiliki arti kupu-kupu, Valerie memiliki arti kuat dan sehat, sedangkan Lily diambil dari nama bunga lily yang memiliki makna cantik dan harum.

Lily adalah panggilanya. Anak yang lahir dari rahim seorang Claretta Nela Aldeondra. Anak perempuan yang lahir dan hadir karena ia memilih untuk melakukan bayi tabung setelah tiga tahun pernikahannya dengan Rezvan tak kunjung dikaruniai seorang anak.

Dua tahun berselang setelah kehadiran Lily, Nela masih menginginkan seorang anak laki-laki. Ia memilih untuk melakukan bayi tabung lagi karena ia mengalami gangguan kesuburan dan tidak bisa jika tidak melakukan bayi tabung.

Namun sayang, saat baru memasuki kandungan yang ke dua bulan ia keguguran.

"Maaf, Mas. Aku jahat, aku nggak bisa jaga anak kita."

"Sudah, Nela. Ini bukan salah kamu, tapi takdir dari Tuhan. Sekarang kita jaga Lily sama-sama, ya?"

"Mas," panggil Nela lirih.

"Iya, Sayang."

"Izinkan aku untuk mengadopsi seorang anak laki-laki dari panti asuhan," pintanya.

Rezvan terdiam. Sebenarnya ia tidak ingin mengadopsi anak. Ia ingin membesarkan anak dari darah dagingnya sendiri. Tapi, karena ia sangat mencintai istrinya mau tidak mau ia harus mengiyakan permintaan itu.

"Baiklah, aku mengizinkan."

Di suatu persimpangan jalan yang cukup sepi dari keramaian terdapat Panti Asuhan Kasih Bunda. Di sanalah Nela mengadopsi seorang anak bernama Narion Ariksavian yang masih berumur dua tahun.

"Ganteng ya, Mas. Aku mau adopsi dia."

"Iya, apa pun itu demi kebahagiaan kamu, Sayang."

Mereka berdua sengaja tak mengganti nama Riksa karena bagi mereka tentunya orang tua Riksa memiliki maksud tertentu kenapa ia diberi nama itu.

"Papa kecewa sama kamu. Sekarang terserah kamu."

Pria itu merendahkan nada bicaranya lalu pergi menuju ke dalam rumah. Pria itu sebenarnya tidak benar-benar pergi kerja dua minggu, melainkan ia sengaja untuk menjebak Riksa dan diam-diam memata-matainya. Ia ingin mengetahui kebenarannya.

Riksa mengejar papanya yang menjauh. "Pa, maafin Riksa. Riksa janji meskipun Riksa pacaran nilai Riksa tidak akan turun."

"Terserah kamu, Papa sudah tidak mau ikut campur."

Rezvan tidak menggubris Riksa dan terus melangkah menuju ke dalam rumah. Riksa terus mengejarnya. Namun, hasilnya tetap sia-sia. Revan sudah terlanjur kecewa dan tak ingin memedulikan anaknya.

"Pa," panggil Riksa semakin lirih. Pria yang dipanggil itu masih sama. Ia tetap tidak menengok ke belakang sekali pun.

Cowok itu akhirnya lelah dengan sendirinya dan memilih untuk berhenti mengejar ayahnya. Nela dan Lily melihatnya dari kejauhan. Tepatnya di sebelah lemari besar yang berada di ruang keluarga.

Ia ingin sekali menghampiri anaknya. Tetapi sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat. Lagi pula Rezvan pasti akan semakin kecewa dengan Riksa jika Nela terus-terusan membela anak angkatnya itu.

Cowok yang masih menggunakan seragam sekolahnya itu berjalan gontai menuju lantai atas. Perlahan ia membuka pintu kamarnya. Tak lupa pula ia mengunci pintu rapat-rapat.

Riksa mengacak rambutnya frustasi. "Arghhh. Apa gue nggak berhak bahagia? Kenapa gue dilahirin kalau akhirnya kayak gini."

"Gue butuh Clara. Nggak mungkin gue ngelepasin dia begitu aja."

Riksa berjalan menuju nakas yang berada di sebelah tempat tidur. Ia mengambil sebuah foto anak kecil yang tak lain adalah dirinya dan juga Lily.

Seorang bocah yang berumur empat tahun dan tiga tahun. Riksa tidak menghadap kamera. Sedangkan Lily menghadap kamera dengan memasang muka lucu sembari menjulurkan lidahnya. Meskipun begitu Riksa kecil tetap terlihat tampan.

"Lo siapa, sih? Anak yang nggak punya orang tua?" Riksa terkekeh di akhir kalimatnya. Ia menertawai dirinya sendiri yang terkesan sangat malang.

"Gue harus nyari tau siapa orang tua kandung gue. Siapa pun mereka gue harus mau terima apa pun alasan mereka nitipin gue di sana."

"Gue udah terlalu jadi beban di sini. Tentunya gue nggak mau ngecewain papa. Tapi ..., gue butuh Clara. Dia satu-satunya orang yang buat gue lupa sama kehidupan gue yang terlalu drama."

Ia menatap lurus pemandangan luar yang bisa ia lihat melalui jendela kamarnya.

"Gue nggak akan pernah bisa ngelepasin dia semudah itu. Dia satu-satunya alasan kenapa gue ngerasain jatuh cinta lagi setelah dulu gue kehilangan Navy."

Riksa berjalan kembali menuju meja belajarnya. Di sana ia menemukan sebuah foto ketika ia masih bayi.

"Satu-satunya bukti yang harus gue cari sumbernya. Gue harus bisa nemuin siapa kedua orang tua kandung gue."

NaCl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang