37 | Hari Kelulusan

15 3 0
                                    

Tak terasa setahun berlalu dengan begitu cepat. Mereka yang dulu berada di kelas sebelas kini sudah berada di kelas dua belas.

Tepat hari ini adalah hari terakhir mereka menjalani Ujian Nasional. Dari koridor mana saja terlihat banyak siswa yang tengah memegang buku untuk belajar sebelum Ujian Nasional dimulai.

Tidak seperti yang lainnya memegang buku. Clara hanya diam tanpa kembali membaca dan mempelajari materi.

"Lo nggak belajar lagi, Ra?" tanya Aurin.

"Nggak, semalem udah belajar. Gue kalau terlalu capek belajar semuanya jadi blank. Jadi, semalem gue udah mateng-matengin belajarnya biar nggak belajar lagi."

"Lo pinter nggak belajar aja nilai lo tetep bagus. Kalau gue nggak belajar nilai gue jadi taruhannya," kata Viola.

Ujian Nasional di SMA Cendrana dilaksanakan dua sesi karena terbatasnya jumlah komputer yang berada di sekolah. Jadi, Lavina dan Ria akan mengikuti sesi kedua.

"Berdoa, semoga nilai kita semua bagus," balas Clara.

"Ra, lo kemarin ngambil mata pelajaran pilihan apa?" tanya Aurin.

"Kimia."

"Sumpah, lo kok bisa paham sih sama mata pelajaran begituan. Gue tiap kali pelajaran kimia ngantuk mulu, dah."

"Bener tuh kata Aurin. Gue juga selalu ngantuk tiap pelajaran kimia nggak tau kenapa. Nilai gue kalau mau aman ya ambil pelajaran biologi. Itu pun kalau nilai bagus berpihak ke gue."

"Udah, optimis aja nilai kita semua bagus. Belajar yang fokus sana keburu masuk ntar."

Di tempat yang tak terlalu jauh dengan mereka Nevan, Adrian dan Riksa tengah bersama. Mereka juga tengah belajar sebelum ujian dimulai.

"Dag dig dug bener jantung gue. Takut kalau nilai gue bakalan jelek."

"Mana mungkin sih, seorang Nevan punya riwayat nilai jelek," ujar Riksa.

"Yang ada nilai lo itu tertinggi." Adrian ikut menimbrung.

"Belum tentu. Kalian semua juga pinter-pinter."

"Nilai bagus emang mengesankan. Tapi itu semua cuma nominal. Nilai tinggi juga nggak menentukan bakal menjamin masa depan. Kadang orang dengan masa lalu yang buruk bisa menciptakan masa depan yang indah." Adrian menyuarakan pendapatnya kepada kedua temannya.

Riksa merangkul pundak Adrian. "Emang lo tuh positif vibes banget, Yan."

Bel masuk tanda Ujian Nasional akan segera dilaksanakan berbunyi. Mereka semua memasukkan buku-buku yang tadinya dibaca ke dalam tas. Tas mereka juga diletakkan di luar kelas agar ujian bisa berjalan dengan aman, tertib, dan jujur.

"Semoga nilai gue bagus biar papa seneng,"—batin Nevan.

Jarak duduk Riksa, Nevan dan Adrian cukup jauh karena huruf awal mereka berbeda.

"Bismillahirahmannirahim rodhitu billahirobba, wabil islaamidina, wabi-muhammadin nabiyyaw warosula. Robbi zidnii 'ilmaa warzuqnii fahmaa. Aamiin,"—doa Adrian dalam hati.

"Seberapa pun nilai gue nanti gue harus tetep bangga. Setidaknya itu adalah hasil dari kerja keras gue sendiri,"—kata Riksa dalam hati.

Mereka terlihat sangat antusias dan serius mengerjakan ujian. Mata pelajaran kali ini dikerjakan selama kurang lebih dua jam. Setelah mereka selesai mengerjakannya, mereka keluar dari ruangan ujian dengan perasaan lega.

"Gila, soalnya bikin stress." Nevan memegangi kepalanya.

"Fisika pasti lebih parah. Ya nggak, Yan?" tanya Riksa membalas ucapan Nevan.

"Lumayan. Ikhtiar aja."

Clara berjalan perlahan keluar dari ruangan. Ia mengambil tas yang diletakkan di luar tadi dan menyampirkannya di pundak. Cewek itu akan segera pulang setelah menjalani ujian yang cukup membuatnya pusing.

Di luar sudah ada adik perempuannya yang menjemputnya.

"Gimana kak ujiannya?" tanya Cika—Adik Clara.

"Lumayan bikin stress tapi harus tetep happy kiyowo."

Gadis itu segera naik ke atas jok motor dan Cika segera menjalankan motor untuk menuju rumah.

Dua minggu berselang setelah Ujian Nasional pengumuman hari kelulusan telah tiba. Mereka disuruh untuk menunggu di rumah. Jika ada guru yang datang maka ia tidak lulus, sedangkan jika guru tidak datang maka mereka sudah dipastikan lulus.

Sehari setelah mereka menunggu di rumah, mereka kembali datang ke sekolah. Saat ini mereka akan diperlihatkan perolehan nilai UN tertinggi di papan mading sekolah mereka.

Murid-murid mulai dari kelas XII IPA 1 sampai XII IPA 5 berbondong-bondong menuju mading untuk melihat siapa yang mendapatkan nilai tertinggi.

Clara berlari bersama kedua sahabatnya. Serta Riksa juga ke sana dengan langkah yang santai bersama kedua temannya juga.

"Yey, gue dapet nilai tertinggi." Clara bersorak senang kala mendapati nilainya paling tinggi di antara yang lain.

"Alhamdulillah, nggak sia-sia gue belajar. Tumben banget gue bisa masuk sepuluh besar." Lavina juga bersorak senang. Ia mendapatkan peringkat ke-enam perolehan nilai tertinggi satu sekolah.

Ria juga ikut tersenyum kala ia juga berhasil mencetak rekor nilainya. Ia mendapatkan peringkat ke-delapan dari semua siswa.

"Kalian semua hebat." Clara merangkul seluruh sahabatnya.

"Berkat lo. Gue kan nanya mulu sama lo. Maafin gue ya ngerepotin lo mulu. Malah lo yang jadi guru gue, Ra," ucap Lavina.

"Iya, gue juga makasih banget sama lo, Ra. Gara-gara lo gue bisa dapet nilai bagus. Padahal selumnya ya lo tau sendiri, lah."

"Bukan karena gue. Tapi karena Allah. Gue cuma perantara buat kalian. Selagi gue bisa sharing hal yang baik kenapa enggak."

Riksa tersenyum senang saat ia melihat bahwa dirinya mendapatkan peringkat ke empat setelah Adrian berada di peringkat ke-dua dan Nevan berada di peringkat ke-tiga.

"Kok peringkat kita bisa jejer gini, ya." Riksa memulai pembicaraan mereka.

"Nggak apa-apa malah bagus. Yang penting kita nggak nyontek." Nevan membalas.

"Gue bersyukur Papa gue udah nggak maksa gue buat selalu dapet peringkat pertama. Coba kalau Papa belum berubah. Gue dapet peringkat ketiga gini aja bagi Papa pasti hanya sampah."

"Itulah, Nev. Gue pernah bilang. 'Tuhan selalu punya cara untuk buat makhluk-Nya bahagia.' Dan sekarang lo tinggal nikmatin itu, Nev."

"Lo tau nggak, sih. Gue tuh heran. Kenapa kita sekarang bisa sedeket ini padahal dulu gue benci banget sama lo, Sa."

Riksa menatap Nevan jahil. "Gue juga, Nev. Benci banget gue dulu sama lo. Pengen ngajak gelud lo terus, sumpah."

"Mau gelud lagi nggak, Sa?" tawar Nevan sembari terkekeh.

"Mumpung lagi rame nih. Gelud aja lo berdua. Biar masuk BK dengan kasus dikira rebutan peringkat." Adrian ikut mendukung dalam candaan mereka.

"Yuk, Sa."

"Nggak, dulu. Tangan gue terlalu ganteng buat gelud sama lo, Nev. Mending kita balap minum air aja."

"Yang habis sepuluh galon menang gitu?"

Riksa menonyor Nevan. "Mau mati lo?"

"Belum, sih. Masih banyak yang harus diraih."

"Nah, makanya jangan gila."

"Udah, udah. Daripada ribut mendingan kita ke kantin makan," lerai Adrian.

"Gaslah," balas mereka berdua.

NaCl [END]Where stories live. Discover now