6 | Cafe

65 7 0
                                    

Hari ini adalah hari minggu. Cowok dengan rambut belah tengahnya itu kini tengah bersiap-siap menuju cafe tempat ia bekerja sampingan setelah ia pulang dari Gereja. Tak lupa pula ia membawa gitar kesayangannya. Di hari libur seperti ini memang sangat mengasyikkan jika jalan-jalan bersama pacar, tapi lain halnya dengan Riksa yang harus bekerja sampingan untuk mencukupi kebutuhannya sendiri kelak jika ia sudah lulus SMA. Meskipun hasilnya tidak seberapa itu sudah lumayan cukup baginya.

Sebenarnya Riksa hanya tidak mau merepotkan kedua orang tua angkatnya jika kelak ia kuliah harus dibiayai mereka juga. Cowok itu memang mandiri dan tak pernah merasa gengsi jika harus bekerja seperti ini.

"Riksa berangkat dulu ya, Ma." Wanita paruh baya itu mengangguk. Sebenarnya ia tak mau jika Riksa harus bekerja paruh waktu seperti ini. Namun, karena Riksa sangat kokoh dalam pendiriannya ia pun mau tak mau harus mengizinkan.

Riksa meraih tangan mamanya dan mencium punggung tangannya. "Dadah, Ma."

Dari balik punggung Riksa yang semakin menjauh, Mama Riksa memperhatikannya cukup lama hingga Riksa hilang dari pandangannya.

"Maaf, Nak. Pasti kamu begini karena ulah Papa kamu."

Mendengar suara pintu kamar terbuka, Nela berbalik ke belakang dan menemukan putrinya di sana. Gadis itu berjalan mendekat ke arah mamanya.

"Ma, Abang udah berangkat, ya?" tanya Lily yang masih berjalan mendekat.

"Iya, barusan Abangmu berangkat. Kenapa?"

"Mau nitip bawain pizza kalau Abang pulang. Ya udah, nanti Lily bilang lewat chat aja."

"Ya udah, Lily ke kamar lagi ya, Ma," ucap gadis itu.

Nela tersenyum." Iya, Sayang."

Di tempat lain Riksa baru saja tiba di cafe. Cafe hari ini cukup ramai. Di sebelahnya terdapat temannya yang juga berkerja sebagai barista di cafe ini.

"Sa, lo nggak malu apa kerja di sini?" tanya Gilang—teman Riksa—yang bekerja di sana juga.

"Enggak, buat apa malu? Lagi pula gue juga hobi nyanyi kok."

"Lo anak orang berada. Jadi buat apa lo harus kerja kayak gini?"

Riksa terdiam sejenak. Matanya tertunduk ke bawah memikirkan suatu hal.

"Emangnya salah kalau gue pengin dapet duit dari hasil usaha gue sendiri?" balasnya sembari menatap Gilang

Gilang tersenyum linglung dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Cowok itu merasa tak enak hati setelah memberi pertanyaan seperti itu kepada Riksa. "Ya enggak, sih."

"Gue pengin pas kuliah nanti kalau gue nggak dapet beasiswa gue mau pakai uang hasil usaha gue sendiri tanpa mau ngerepotin mereka, Lang. Ya meskipun hasilnya nggak seberapa."

Gilang menepukkan tangannya pada pundak temannya dua kali. "Lo hebat."

"Lo lebih."

Pengunjung cafe semakin ramai hingga membuat keduanya berhenti berbincang dan segera melakukan aktivitas masing-masing.

"Gue ke sana dulu, ya," ucap Riksa. Ia bergegas menuju stage untuk segera bernyanyi. Setibanya di sana, ia melihat seorang gadis berambut panjang yang sedikit bergelombang tengah sibuk celingukan ke sana ke mari seperti sedang mencari seseorang. Ia tau persis siapa gadis itu. Clara.

Riksa memicingkan matanya sembari tersenyum memerhatikan Clara yang baru saja menatapnya. Gadis itu tersenyum lega mendapati Riksa ada di sana. Ia bersiap memerhatikan sekitar mencari meja yang kosong. Tatapannya terhenti pada sebuah meja yang terletak paling depan. Ia berjalan menghampiri tempat itu dan bersiap untuk duduk sembari mendengarkan Riksa bernyanyi. Tak lupa pula ia memesan makanan dan minuman di sana.

NaCl [END]Where stories live. Discover now