31 | Kehidupan Nevan

18 4 0
                                    

Sepulang sekolah Nevan membanting keras tasnya di kasur. Semburat darah yang berdesir merangkak naik membuat wajah Nevan terlihat memerah karena emosi. Baru saja ia pulang sekolah. Namun, papanya sudah membuat dirinya kesal sendiri.

"KELUAR KAMU, NEVAN. KURANG AJAR SEKALI KAMU!"

Suara ayahnya dari luar membuatnya menutup telinganya kencang. Suara ketukan pintu dengan sedikit berusaha didobrak membuat cowok itu merasa sangat kesal.

Ia mengacak rambutnya asal. Matanya memencar melirik sebuah lemari berisi piala satu lemari penuh. Berbagai medali juga terpajang di lemari itu. Nevan adalah anak dengan segudang prestasi. Namun, Deni-Ayah Nevan-tidak pernah merasa puas dengan apa yang Nevan peroleh.

Nevan menatap satu per satu piala-piala yang ia dapatkan.

"Papa nggak akan pernah merasa puas dengan apa yang gue dapetin!"

Ia beralih membuka lemari kaca itu dengan kasar dan mengambil satu pialanya. Emosinya semakin naik. Ia akan menbanting piala itu. Sedetik kemudian ia tersadar dan menatap piala itu. 'Juara 1 Olimpiade Kimia Tingkat Nasional'.

Nevan mengangkat piala itu agar bisa lebih tinggi dari pandangannya. "Nggak! Sadar Nevan! Lo dapetin ini semua nggak gampang!"

Ia mengembalikan kembali piala itu ke tempat semula. Ia terkulai lemas di atas lantai dengan posisi terduduk. Nevan merasa bahwa dunianya sangat hancur sekarang. Dari luar Deni masih berusaha mendobrak pintu Nevan meskipun pria itu tidak berhasil.

"NEVAN! KELUAR! PAPA BILANG KELUAR SEKARANG!"

Nevan masih tak mempedulikan papanya yang terus berteriak dari luar. Cowok itu sudah cukup malas menghadapi papanya yang sangat keras kepala.

Ia kembali mengacak kuat rambutnya. Menyuarakan luka melalui itu. "Arghhh," teriaknya

Sebuah foto yang terpajang pada nakasnya membuat Nevan berdiri meraih foto itu. Sebuah foto dirinya bersama mamanya. Ia mengusap foto itu dan memeluknya erat.

"Nevan kangen, Mama. Kembali, Ma. Papa jahat. Nevan nggak pernah merasakan kasih sayang selama Mama nggak ada. Ma, ajak Nevan pulang."

Cowok itu kehilangan tenaganya. Tanpa sadar ia menangis mengingat masa lalunya.

"Jemput Nevan, Ma. Nevan nggak kuat. Papa jahat."

Tangan Nevan tiba-tiba bergetar hebat. Cowok itu menjatuhkan fotonya bersama mamanya sewaktu ia masih duduk di bangku kelas lima SD.

Ia membungkuk mengambil foto yang terjatuh itu. Kaca yang menjadi pembatas pada foto pecah dan tangannya tanpa sadar terkena goresan kaca itu.

"Aww," ringisnya.

Ia menarik tangannya kembali dan segera mengambil tisu yang berada tak jauh dari tempatnya. Darah segar terus menerus mengalir dari jemari telunjuk Nevan. Ia terus menerus mengusap jarinya dengan sebuah tisu hingga darahnya berhenti mengalir.

Pintu semakin berusaha didobrak oleh Papa Nevan. Tak disangka-sangka pria itu berhasil mendobrak pintu kamar Nevan. Seseorang yang tadinya berada di ambang pintu kini mulai berjalan mendekat ke arah anaknya.

Deni memutar tubuh Nevan kasar menghadapnya. Nevan menatap papanya nyalang sambil masih mengusap jarinya dengan tisu.

Keduanya saling berhadapan dengan napas yang memburu.

"KEMARIN PAPA MENDAFTARKAN KAMU UNTUK LOMBA DI SANA. TAPI KENAPA KAMU TIDAK HADIR, NEVAN!!"

"Nevan capek."

Deni menampar pipi Nevan dengan keras. "PAPA SUDAH BERUSAHA KERAS MENDAFTARKAN KAMU DI SANA ANAK BODOH! BANYAK YANG MENGINCAR UNTUK BISA LOLOS DAFTAR DI LOMBA ITU. TAPI KAMU JUSTRU MENYIA-NYIAKANNYA!"

Nevan mengusap pipinya yang terasa perih akibat tamparan Deni yang begitu kuat. Pria itu memang tidak pernah main-main ketika ia melayangkan pukulan.

"Nevan juga manusia, Pa! Jika tiap hari Papa memaksa Nevan untuk selalu ikut lomba dan selalu menuntut Nevan untuk menang. Nevan juga capek, Pa! Nevan manusia, bukan robot!"

"Papa bahkan tidak peduli. Kamu mau bikin Papa malu sama saingan Papa, hah? Apa jadinya kalau kamu berada jauh di bawah anak mereka. Papa malu, Nevan!"

"Seharusnya Papa sadar bahwa Papa terlalu memperalat aku untuk urusan bisnis Papa yang nggak jelas. Beri aku waktu, Pa. Aku perlu istirahat."

"Aku nggak masalah kalau Papa nyuruh aku untuk selalu ikut lomba ini itu, tapi ..., Nevan mohon kali ini aja ngertiin Nevan, Pa. Nevan capek."

"Papa tidak peduli itu, Nevan. Tidak ada waktu bermalas-malasan cepat belajar lagi sekarang juga. Dan Papa tidak mau menerima alasan apa pun lagi!"

"Bunuh Nevan, Pa," ucap Nevan sedikit lirih.

Mendadak ada getaran hebat dalam hati Deni. Pria itu tiba-tiba saja merasa bersalah pada Nevan.

"Nevan capek. Nevan mau nyusul Mama. Papa bahkan nggak pernah ngehargain jerih payah Nevan."

"Papa nggak tau gimana susah payahnya Nevan untuk bisa meraih semua hal yang Papa mau. Nevan bahkan jarang tidur hanya karena terus belajar, belajar, belajar, dan belajar. Itu semua Nevan lakuin untuk Papa. Nevan belajar untuk bisa mendapatkan apa yang Papa mau. Papa terlalu menuntut Nevan," sambung Nevan dengan sekuat tenaga menyuarakan luka yang selama ini ia pendam.

"Papa nggak tau gimana stressnya Nevan ketika Nevan belajar. Di saat Nevan sakit pun Nevan tetap maksa belajar. Itu semua demi siapa? Itu semua demi Papa."

Nevan menatap Papanya yang saat ini terdiam.

"Apa Papa pernah sekali pun ngehargain Nevan? Sedikit aja? Sedikit. Jawabannya nggak pernah, Pa. Papa selalu nuntut Nevan. Papa selalu menuntut Nevan untuk menjalankan kewajiban Nevan sebagai seorang anak, tapi dari sisi sudut pandang Nevan sendiri Papa nggak pernah menjalankan tugas Papa sebagai orang tua."

"Apa Papa pernah bangga dengan segudang prestasi yang pernah Nevan torehkan? Enggak, kan, Pa? Jadi untuk apa Nevan selalu menang dalam segala perlombaan tapi Papa nggak pernah bangga sama sekali sama Nevan."

"Papa lihat ke sana." Nevan menunjuk sebuah lemari yang berisi piala satu lemari penuh.

"Itu semua Nevan yang dapetin, Pa. Satu lemari penuh piala. Apa Nevan dengan semudah itu bisa mendapatkannya? Enggak, Pa. Nevan harus belajar, belajar, belajar, dan belajar untuk bisa meraih semua barang yang ada di lemari itu."

"Nevan bukan robot pembahagia yang bisa Papa suruh-suruh semaunya. Sedangkan aku, Pa. Robot aja bisa rusak. Cukup, Pa! Nevan mau bahagia."

Nevan menitihkan air matanya tepat di hadapan Deni. Tiba-tiba saja kakinya terkulai lemas. Tubuh pria itu perlahan merosot ke lantai, ia bersimbuh lutut di hadapan Nevan. Tubuhnya bergetar hebat. Matanya mulai memanas ingin mengeluarkan tangis. Ia memegang kedua tangan Nevan.

"Maaf, Nevan. Papa telah gagal menjadi seorang ayah yang baik untuk kamu."

"Pukul Papa. Balas segala rasa sakit yang Papa lakuin ke kamu."

Nevan ikut mensejajarkan tubuhnya dengan papanya. Ia memeluk papanya erat. Menangis tersedu-sedu di pundak pria itu. Keduanya saling menangis.

"Maafin Papa, Nevan. Papa hanya menuruti keegoisan Papa. Hanya karena Papa pengin mendapatkan segalanya Papa harus nyakitin kamu. Maaf, Nak."

"Papa pikir selama Mama kamu nggak ada Papa udah benar merawat kamu, tapi Papa salah. Papa hanya mementingkan kesenangan Papa tanpa memikirkan betapa beratnya kamu mendapatkan ini semua."

"Pa, Nevan kangen Mama." Deni semakin menangis kala putranya mengucapkan kalimat itu.

NaCl [END]Where stories live. Discover now