"Gimana, gimana? Sayang sama kakaknya?"

Aksa mengerang pelan. "Kenapa Aksa ditanyain terus, sih?!" gerutunya, "Aksa 'kan nggak suka ditanyain gitu. Aksa sayanh sama Kakak. Nggak usah dijawab juga seharusnya Dokter tahu jawabannya."

"Kok, ngegas." Arza menatap Aksa heran. Meski begitu, ia takjub dengan Aksa yang berani mengatakan seluruh perasaannya. Yah, meski Aksa sepertinya terpaksa saat menjawab pertanyaan itu.

"Iya, saya paham banget." Dokter Erina berucap. "Kalau nggak ada pertanyaan lagi, Arza udah boleh pulang. Infusnya udah dilepas, tinggal ditunggu berkasnya sedikit lagi, ya."

Arza tidak bisa ingat bagaimana rumahnya, tapi ia merasa senang. Entah bagaimana ingatannya yang abu-abu itu justru memberikan efek ketidaksabaran yang menggebu, membuat Arza ingin cepat-cepat pulang. "Lama nggak, Dok?" tanya Arza.

"Sebentar. Sebentar lagi."

•••eccedentesiast•••

Pada akhirnya Arza benar-benar bebas dari kamar rawatnya. Ia duduk di kursi roda, meski sudah berulang kali meyakinkan bunda dan Aksa kalau dirinya sudah kuat untuk berjalan sendiri sampai lobi. Tapi, Aksa malah menyuruh Arza untuk duduk, sementara laki-laki itu mendorongnya dengan cepat.

Masalahnya, di depan jalannya agak menurun.

"Dek!" panggil Arza panik. Kedua tangannya menggenggam erat tas yang diberikan oleh bunda. "Di depan turunan."

"Ya, terus?"

"Gue nggak mau, ya, dirawat lagi gara-gara kecelakaan kursi roda begini."

Aksa tertawa puas. Ia menahan gerakan kursi roda agar tidak terlalu cepat. Napasnya terengah, tapi senyumnya lebar, seolah Aksa baik-baik saja dengan aktivitas seperti itu.

"Udah, ayo ke lobi," cecar Arza. Masalahnya, Aksa malah tetap jalan lurus, itu berarti keduanya sedang mengarah ke kamar mayat. "Nggak usah aneh-aneh. Bunda sama Ayah udah nunggu di lobi."

Aksa menepuk pundak Arza lembut. "Sebentar aja, Kak," balasnya. Ia membelokkan kursi roda sebelum benar-benar masuk ke kamar mayat. "Gue mau lo ketemu sama seseorang dulu."

Arza menyatukan alisnya heran. "Siapa?"

Aksa tidak menjawab. Senyumnya penuh arti. Hingga pada akhirnya keduanya sampai di kantin Gedung Anak Dahlia, Aksa berhenti mendorong. Tepat di hadapannya, tak jauh darinya, seorang wanita berdiri.

"Bun ... da?"

•••tiga hari sebelumnya•••

Aksara membuka pintu yang sedari tadi diketuk oleh entah siapa. Tangannya sejenak mengusap kelopak matanya yang masih lengket, lalu menguap. Siapa pula orang yang bertamu sepagi ini?

"Siapa ...?" Kelopak mata Aksa mendadak melebar saat melihat siapa yang berdiri di balik pintu. "Tante ... ngapain ke sini?"

Kalina tersenyum tipis. Ia menyingkap anak rambut yang seenaknya mengganggu pandangannya. Wajahnya menyiratkan kegugupan sekaligus rasa takut.

"Adek ... Aksa 'kan?"

Aksa sedikit memiringkan kepalanya. "Iya, aku Aksa. Ada apa, ya, Tan?"

"Bisa bantu Tante?" Lina menggigit bibir bawahnya sejenak. "Tante ... cuma pengin ketemu Arza. Untuk terakhir kalinya. Tapi Tante takut. Apa bunda kamu bakal ngebolehin Tante buat ketemu sama dia?"

Aksa diam. Selama ini, bunda memang berkata bahwa Aksa harus jaga-jaga jika Lina kembali datang. Kata bunda, Lina tidak boleh bertemu dengan Arza. Ia sudah tidak punya hak lagi.

Tapi ... Aksa tidak bisa sejalan dengan bunda.

Dirinya yang terlampau peka mampu menangkap rasa bersalah yang disiratkan oleh kedua manik legam itu. Ada rasa rindu yang terselip. Aksa bisa melihat sorot seorang ibu yang menyayangi anaknya dengan dalam. Itu berarti ... tidak masalah 'kan?

"Bisa 'kan?"

"Kak Arza sebentar lagi pulang." Aksa tersenyum tipis dan mengusap lengan Lina dengan lembut. "Saat itu. Aku kasih waktu buat Tante ketemu sama Kak Arza."

•••kini•••

"Bun ... da?"

Arza mengerjapkan kedua kelopak matanya berkali-kali. Perlahan, ia bangkit dari kursi rodanya. Dengan langkah terseok, Arza menghampiri.

"Kenapa ... Bunda tiba-tiba datang?" tanyanya.

Lina menunduk dalam. Ia enggan menatap Arza. Bahkan, begitu laki-laki itu ingin menyentuhnya, Lina langsung mundur, berusaha menghindar.

"Maaf," bisik Lina lirih.

"Kenapa ...?" Arza membalas sama lirihnya. Bibirnya bergetar.

"Maaf karena pernah menelantarkan kamu dulu."

Arza tidak tahu harus berespon bagaimana. Ia sudah mendengar bahwa dirinya memang ditinggalkan di depan panti, lalu bunda mengangkatnya sebagai seorang anak. Arza belum bisa percaya saat itu. Namun, begitu mendengarnya dari bibir Lina secara langsung, ada rasa sakit yang tidak dapat dideskripsikan saat itu juga.

"Oh, jadi benar, ya?" Arza tersenyum miring. "Bunda ngebuang aku, ngebiarin aku ada di depan pintu panti, sampai orang-orang panti nemuin aku. Dan akhirnya ada orang yang ngangkat aku sebagai anak."

"Maaf." Lina mengulang ucapannya.

"Kenapa Bunda buang aku saat itu? Nggak bisa nerima aku sebagai anak? Nggak mau punya anak penyakitan kayak aku? Nggak bisa ngurus aku?" Arza bertanya dengan suara bergetar. Ia ingin mendengar semuanya. Alasan bundanya yang telah membuangnya itu.

"Maaf," ucap Lina sekali-lagi, "Mungkin, alasan yang tepat adalah ... karena saat itu ayah kamu---maksud Bunda, orang yang sudah menghamili Bunda, nggak bisa nerima kamu. Bunda juga nggak bisa. Bunda belum siap buat---"

Rasanya Arza seperti disambar petir. Kelopak matanya melebar. Ia mundur hingga tubuhnya menabrak kursi roda. Perlahan, ia meluruh, memotong ucapan Lina saat itu juga.

"Dek ...." Arza memanggil Aksa. "Gue nggak mau dengar alasannya lagi. Ayo ... kita pulang."

"Kak, tapi---"

"Pulang!" Arza berucap final. "Alasan macam apa itu? Mau menghancurkan saya untuk kesekian kalinya? Selamat ... Anda berhasil."

Arza tidak mau lagi menatap Lina. Ia menunduk. Cairan bening yang melapisi bola matanya perlahan meluruh, mengaliri pipinya.

"Kak," panggil Aksa khawatir. Ia mendorong kursi roda Arza untuk segera ke lobi. "Lo nggak apa-apa?"

Arza mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Gimana caranya gue bisa nggak apa-apa setelah ngedenger kalau gue nggak diharapin sama sekali?"

•To be continued•

A/n

Guys, aku lagi sedih :")

Soalnya karakter yang aku suka kayak ada tanda tanda bakal mati :") ambyar seharian ini

EccedentesiastWhere stories live. Discover now