"Setengah jam?" Pascal menerka. "Tadi dia sempat ngambek karena para tahanan tidak segera dibawa kemari."

Embre berdecak lagi. Dia mencoba menarik diri, tetapi aku bersikeras mencengkram lengannya. "Ya, ya. Akan kujawab! Ikuti aku, dan bawa bocah itu."

Dia menunjuk Erion, yang memang sedang membelah barisan Calor untuk menyusulku. Bisa kulihat Ash si bocah Calor di belakangnya, masih menempelinya.

Begitu aku menarik Erion ke sisiku, Embre menepis Ash ke sisi sembari mengancam bocah itu agar dia kembali ke barisan penonton.

"Jaga tahanan lain," kata Embre ke teman-teman Calornya, mengacu pada Alatas dan Truck yang mengamati kami dengan resah. "Aku mau mengecek alat bantu dengar bocah ini sebentar."

"Alat bantu dengar itu headset keren yang menempel di telinganya?" Ash, menolak bergabung dengan para penonton di sisi-sisi area, mulai merecoki Alatas dan Truck. "Alat itu buat apa? Kenapa kalian tidak pakai juga?"

"Alat bantu dengar," desis Truck jengkel, "bukankah namanya saja sudah menjelaskan fungsinya, Bocah?"

Aku dan Erion mengekori Embre menuruni undakan arena. Di antara tribune, diapit oleh dua pasak setinggi dua meter lebih, tampak sebuah lorong dengan tangga di dalamnya. Embre bilang, kami akan memasuki bagian bawah arena.

Jauh dari hiruk-pikuk para Calor, terdengar suara deguk air lagi.

"Apa ada air terjun di sekitar sini?" tanyaku ketika kami sudah menyusuri lorong lagi. Embre membawa kami berbelok sampai menemui jalan buntu—lorong itu berakhir pada sebuah pintu besi yang tak berkenop.

"Ya, tepat di sisi timur arena—bagaimana pun, kami juga manusia. Kami butuh air saat tak berwujud api. Minum bensin tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah dahaga." Wajah Embre terkesan netral sampai-sampai aku tak tahu apakah dia serius atau bercanda perihal minum bensin.

Tangannya menempel pada ujung pintu tak berkenop sampai logam tersebut berbunyi klang!—dan terbuka.

"Keren, 'kan?" katanya seraya memberi jalan agar aku dan Erion masuk. "Pintu yang hanya bisa dibuka oleh Calor atau Steeler."

Ruangan itu cukup luas, diterangi sebuah lampu LED, dipenuhi oleh lemari dan rak kaca berisi perkakas bengkel, alat elektronik lama, dan panel-panel pengendali dengan layar pantau seperti yang fasilitas NC miliki. Potongan baja, plastik, dan gulungan kertas berserakan di lantai. Bahkan, aku melihat sebuah alat penyedot debu di antara lautan perkakas itu, dengan dua lampu sen mobil tertempel di bagian atas corong penghisapnya, mengedip nyala-mati seperti sepasang mata.

Di tengah-tengah ruangan, dikepung oleh kekacauan artifisial, seorang pemuda berambut gondrong menghentikan apa pun yang tengah dia kerjakan di atas meja panjangnya. Dia menatap Embre dan aku bolak-balik.

"Kau masih punya sirkuit khusus untuk alat bantu dengar, Cybra?" tanya Embre, yang ditanggapi anggukan oleh si pemuda gondrong.

Ketika diminta mendekati meja kerja Cybra, Erion malah tampak sibuk mengamati ujung pintu yang kini mengerut dengan sorot penasaran.

"Tadi aku memanaskan besinya," jelas Embre seraya mempraktikkan ulang sambil menutup rapat pintunya. "Dalam temperatur tertentu, logam ini bisa diubah bentuknya. Steeler yang punya akselerasi bagus bisa melakukannya dengan mudah meski level kekuatannya rendah. Kau tahu? Phantom juga bisa melakukannya—kalau kau bisa memanipulasi atau membuat disintegrasi molekuler."

Aku bisa melakukannya! pamer Erion seraya menggedor-gedor dan mendorong pintu dengan kekuatannya. Dia terlihat seperti punya dendam pribadi terhadap pintu itu, dan aku sempat cemas pintunya akan roboh ke luar. Namun, yang dia lakukan hanya membuat lengkungan penyok kecil di tengah-tengah daun pintu.

RavAgesWhere stories live. Discover now