42. Pergi

484 31 0
                                    

Gerald tampak fokus menyetir, Ayahnya yang duduk di sebelah kursi kemudi juga tampak fokus memperhatikan jalan. Bunda juga lebih memilih diam dan terus memperhatikan kemacetan yang menjebak kendaraannya.

Sejak semalam Vallery izin dengan mereka untuk pergi ke rumah sakit, katanya ada temannya yang sakit dan akan di oprasi. Saat itu Vallery sangat panik hingga membuat wajahnya sangat pucat. Gerald berinisiatif ingin mengantar Adiknya, namun Vallery menolak karna saat itu Gerald baru pulang bekerja.

Pada pagi menjelang siang mereka bertiga memutuskan untuk ikut menjenguk teman Vallery, Bunda juga sudah kenal namanya Ken. Yang Gerald dan Ayah tau dari Bunda, Ken itu anaknya pucat, bahkan lebih pucat dari Vallery. Anaknya juga kelihatannya anak baik-baik.

Keadaan jalanan memang cukup macet hingga membuat Gerald cukup bosan berada di balik kemudi. Untungnya keadaan tersebut tidak berlangsung lama, dan dapat meneruskan perjalanan menuju rumah sakit.

Kini Gerald telah sampai di parkiran, ia segera menelpon Adiknya itu.

"Hallo." Sahut Vallery.

"Gue udah sampai, lo dimana?"

"Lo langsung ke ruang oprasi aja, di lantai empat paling ujung. Gue lagi di mushola bentar." Jelas Vallery.

"Ohh oke." Gerald memutuskan sambungan telepon dan memasukan ponselnya ke dalam saku kemeja.

"Bun, Yah. Kita langsung ke dalam aja. Lantai empat." Gerald, Ayah, dan Bunda langsung memasuki rumah sakit dan menuju ke lantai empat.

Sesampainya di lantai empat, mereka langsung di sambut oleh Sam. Sam menyalami Bunda dan juga Ayah, serta tak lupa bersalaman ala lelaki pada Gerald. Bunda berpikir mungkin Sam juga sedang menjenguk Ken yang notabennya adalah teman satu sekolah mereka, namun Bunda kaget saat Sam memperkenalkan orangtuanya. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan awet muda, serta seorang pria blasteran paruh baya yang bunda liat mirip Breadpit. Dan satu lagi seorang pria dewasa seusia Gerald yang bernama Frans, Kakak Sam.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu ketemu sama keluarga kamu." Bunda mengusap bahu Sam. Soalnya kalo ngusap pala, Bunda gak nyampe. Hehe.

Seketika lampu oprasi mati, itu menandakan oprasi telah selesai. Semua yang berada disana tampak panik dan berdoa, saling merapalkan doa adalah pilihan yang mereka ambil saat ini. Seorang pria paruh baya dengan baju seragam oprasi keluar dari ruang oprasi. Wajahnya tertunduk lesu, perlahan membuka masker hijau yang ia kenakan. Terselip ekspresi wajah menyesal di wajahnya.

Nina langsung maju dan melangkah menghampiri dokter, "Bagaimana keadaan anak saya?" Tanyanya dengan suara bergetar menahan isakan.

"Maaf, kami sudah berusaha semampu kami. Namun, anak anda tidak tertolong." Ucapnya sangat penuh dengan penyesalan.

Nina merasakan ada sebuah batu bulat yang berhenti di tenggorokannya. Ia merasa tercekat, bahkan menangis pun seolah sulit.

"Dokter bohongkan?" Tom mengusap bahu istrinya, berusaha menenangkan meskipun hatinya sendiri sangat terpukul.

"Jawab saya dok!!" Nina berteriak histeris. Dan untuk yang kesekian kalinya dokter itu mengatakan, "Maaf".

Bruk!

Terdengar suara sebuah buku yang terjatuh ke lantai. Disertai air mata yang sudah gagal ia bendung. Kekuatannya runtuh. Hatinya hancur menjadi serpihan kecil. Mimpi buruk itu seutuhnya menjadi nyata. Menyayat dirinya hingga beberapa goresan. Mematahkan harap yang sudah berusaha ia bangun. Pandangannya mengabur. Membuatnya hilang keseimbangan. Hingga sebuah tangan kokoh menangkap tubuhnya sebelum dirinya terjatuh di lantai dingin rumah sakit. Setelah itu pengelihatannya hitam pekat.

¤¤¤ A.M.O.R ¤¤¤


Tangis memenuhi ruangan ini semakin pecah, kala Nina membuka kain putih yang menutupi hingga kepala. Nina hancur berkeping keping saat melihat orang yang dikasihinya selama ini terbujur kaku tidak bernyawa. Wajahnya pucat, tetapi ada senyum yang terukir disana, pada wajah yang kini tertidur selamanya. Semua orang yang berada disana hanyut pada fikirannya masing-masing, masih seperti sebuah mimpi. Bahkan jika boleh meminta mereka ingin sekali segera bangun dari mimpi buruk ini. Begitu menyakitkan, namun berusaha mengikhlaskan adalah jalan yang harus diambil. Ken sudah tenang, dan tidak merasakan sakit lagi. Tuhan lebih sayang padanya.

"Ken, bangun sayang. Mama disini." Nina masih sesegukan menangis memeluk jenazah Ken. Tom mendekat lalu memeluk istrinya. Hatinya juga hancur, sama seperti Nina. Meskipun Ken bukan darah dagingnya, tapi dia sudah menganggap Ken sebagai anaknya sendiri.

"Sudah Ma. Ikhlaskan, agar dia pergi dengan tenang." Ucap Tom menenangkan Nina.


"Maaf, pada detik ini aku menyerah pada waktu. Aku pamit, jaga diri kamu baik-baik."




Sebenernya ini berat banget buat aku untuk nulis part ini, beneran nggak mau Ken pergi buat selamanya 😢

A.M.O.R ✔Where stories live. Discover now