34. Hilang

441 25 0
                                    

Langit telah menggelap, menampilkan purnama yang masih setia menyinari makhluk bumi di malam hari. Bintang pun seolah ikut menemani kesunyian yang Ken alami kini. Meski ada Frans yang sedang duduk di sofa sambil main game di ponsel, tetap saja kesunyian menghantui Ken hingga menusuk tulang. Tadi Papa sempat menjenguk, namun tanpa di dampingi Mama. Kata Papa "Mama kamu titip salam, maaf malam ini belum bisa jenguk. Besok pagi Mama pasti akan datang sambil bawa makanan kesukaan, Ken." Begitu kata Papa sembari mengusap rambut Ken. Satu jam yang lalu Papa baru saja pulang ke rumah, Ken tidak mau papanya kecapek-an gara-gara menemani dirinya di rumah sakit. Frans pun tadinya Ken suruh pulang, tapi dia bersikeras ingin menemani adiknya. Frans sangat keras kepala melebihi dirinya yang kepala batu.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Ken. Frans membukakan pintu, terlihat seorang pria paruh baya lengkap dengan sneli putih serta stetoskop yang melingkar di lehernya. Pria yang sudah sangat Ken kenal. Wajar saja Ken sudah mengenal dokter Ferdy sejak ia masih kecil.

"Frans bisa bicara sebentar?" Dokter Ferdy mengajak Frans untuk keruangannya.

"Bisa dok. Ken lo jangan kemana-mana ya. Kalau mau apa-apa tinggal tekan bel aja." Ucap Frans pada Ken.

"Siap Bang!" Jawab Ken dengan hormat ala prajurit perang.

Kemudian Frans dan dokter Ferdy langsung keluar meninggalkan ruang rawat Ken.

Frans memasuki ruangan bernuansa biru. Ruang kerja dokter Ferdy memang sengaja di dekor sedemikian rupa, salah satunya dengan dekorasi warna serba biru laut. Alasanya karena dokter Ferdy sangat menyukai laut. Dokter Ferdy mempersilahkan Frans untuk duduk di kursi hadapannya. Wajah doker yang kini berusia lima puluh lima tahun kini tampak sangat serius.

"Saya khawatir dengan keadaan Adik kamu." Ucap dokter Ferdy memulai percakapan.

"Apa keadaannya semakin parah dok?"

"Begini, kanker hemofilia yang dideritanya sudah sangat parah. Bila tidak segera di tangani akan menyebabkan komplikasi berupa pendarahan intrakranial." Jelas dokter Ferdy.

"Pendarahan intrakranial, dok?" Frans masih belum mengerti dengan penjelasan yang dokter Ferdy jelaskan.

"Pendarahan intrakranial merupakan benjolan sederhana di kepala yang dapat menyebabkan pendarahan di otak. Sebenarnya ini sangat jarang terjadi, tetapi jika tidak segera di tangani kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan otak atau bahkan kematian."

Wajah Frans memerah, menahan isakan yang ia tahan agar tidak menangis. Bagaimana mungkin Adik yang sangat ia sayangi dapat menderita sakit yang sangat parah. Ken yang aktif olahraga. Ken yang jago bela diri. Ken yang tak pernah mengeluh pada dirinya maupun kedua orangtuanya. Meski ia tahu setiap malam Ken selalu merasa kesakitan nyeri sendi, muntah darah, ataupun mimisan. Bagaimana bisa seorang anak lelaki semuda Ken dapat menahan semuanya seorang diri. Frans gagal menahan isakannya, ia menangis.

"Saya mohon, lakukan yang terbaik untuk Adik saya, dok." Frans berpesan dengan amat sangat kepada dokter Ferdy agar melakukan penanganan medis sebaik mungkin. Frans ingin Ken dapat pulih dan menjalani kehidupan normal.

Tanpa mereka tahu, ada seseorang yang daritadi setia mendengar percakapan antara kedua orang itu. Mulutnya membisu. Hatinya seolah ingin berteriak. Ia sengaja tidak memperdulikan perkataan Kakaknya untuk berdiam di ruang rawat, Ken sengaja mengikuti Frans hingga ke ruangan dokter Ferdy. Ken terisak setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Sel kanker telah merusak dirinya.

Lantas ia mengeluarkan ponsel dan mencari nomor Syilla, kemudian menekan tombol call. Telinga Ken mendengar suara gaduh, sepertinya Syilla sedang berada di club.

"Ya! Hallo Ken?" Syilla sengaja mengeraskan suaranya beberapa oktaf agar terdengar oleh saudaranya.

"Gue mau ngomong sama lo, penting." Ucap Ken datar.

"Oke, nanti abis dari sini gue ke rumah sakit!"

"Sekarang!"

¤¤¤ A.M.O.R ¤¤¤


Vallery menutup buku matematikanya setelah beberapa jam pantatnya telah mengakar di kursi meja belajar. Otaknya terasa sangat penat setelah mempelajari barbagai rumus dan materi pembelajaran. Ada begitu banyak, namun yang Vallery betul-betul pahami hanya beberapa. Nyatanya matematika masih menjadi pelajaran tersulit dan mengalahkan akuntansi. Bila menghitung rupiah masih bisa menggunakan kalkulator, matematika tak bisa begitu.

Matanya belum mengantuk meski jam telah menunjukan pukul sepuluh. Vallery merasa perutnya belum terisi penuh. Belajar memang dapat menguras tenaga, maka tak jarang Vallery memakan cemilan pada malam hari agar tidurnya nyenyak karna perut telah terisi. Gendut? Vallery tidak takut, beratnya memang bertambah tapi tidak sampai membuatnya seperti bola. Hanya perut dan pipinya saja yang rada gembul. Maklum dia kalo gemukan dikit yang kena imbas pasti pipi dan perut.

Vallery kembali ke kamar dengan membawa camilan berupa citato, sari roti, dan fanta. Ia mulai membuka bungkus cemilan tersebut satu persatu, sebenarnya ia sedang ingin memakan bakso malang tapi sepertinya sudah lewat daritadi. Vallery mulai memainkan ponselnya, mengecek media sosial yang jarang sekali ia sentuh. Ada beberapa dm berupa permintaan followback dari beberapa orang dan mayoritas kaum adam. Vallery enggan untuk membalas apalagi followback. Bukan bermaksud sombong atau jual mahal, tapi jika ia tidak mengenal buat apa di followback. Vallery malas dengan orang asing. Orang di dunia nyata saja banyak tipuannya, apalagi yang di media sosial.

Vallery tidak sengaja menstalk akun instagram Ken. Disanah ada banyak foto dirinya. Meski ia jarang sekali berfoto bersama Ken, tetapi Ken selalu mengambil setiap moment melalui jepretan ponselnya. Ada Vallery yang sedang tertawa lebar, Vallery yang cemberut, Vallery yang tersenyum datar sampai bibirnya melar ke samping dan matanya ketarik. Dan masih banyak lagi.

Vallery merasa dirinya telah begitu jahat pada Ken. Vallery bukanlah pacar yang baik. Meski begitu Vallery sadar, perasaannya tidak dapat dipaksakan. Berpura-pura cinta akan membuat keadaan makin runyam. Akan membuat Ken semakin terlampau sakit. Vallery harus dapat berlaku dewasa. Mengambil keputusan meski pasti ada resiko yang harus ia tanggung.

Ia menekan tombol call pada username Ken. Namun, yang terdengar bukanlah suara Ken, melainkan bunyi operator yang menjelaskan bahwa nomor Ken sedang tidak aktif. Vallery menghembuskan napasnya dan bersandar pada kursi meja belajarnya. Sebenarnya Ken kemana, mengapa seolah cowok itu hilang di telan bumi. Vallery bukan pacar yang baik, pacar macam apa yang rumah pacarnya sendiri saja tidak tahu.



"Aneh, kamu hilang rindu menyekik ku."


Ada yang sedih juga baca part ini? 😢

A.M.O.R ✔Where stories live. Discover now