BLS - 32

26.7K 3.6K 285
                                    

Daud Artasenjaya tertawa senang. Ia merentangkan kedua lengannya menyambut Alodra dan Kara yang menghampirinya. Ia puas melihat wajah bahagia Alodra yang tersembunyi di balik wajah datarnya. Tentu saja mata tuanya tidak bisa dibohongi begitu saja dengan raut wajah kaku cucunya. Orang lain mungkin terkecoh, tapi tidak dengannya. Ia bisa melihat betapa cerahnya wajah Alodra dengan kedua sudut bibir mati-matian menyembunyikan senyum senangnya.

"Alodra," sapa Ambros menyalami Alodra dengan hangat.

Alodra mengangguk, memyambut jabat tangan Ambros dengan penuh percaya diri.

"Kau masih ingat cucuku?" Ambros menoleh pada seorang gadis cantik berbalut gaun malam berwarna biru tua yang nampak sangat kontras dengan kulit putihnya.

"Tentu," angguk Alodra. Ia mengernyit merasakan tangan Kara bergerak pelan. Tanpa kentara, ia memperhatikan gadis yang baru saja menjadi tunangannya itu. Kara nampak gelisah.

Alodra menyadari, tentu Kara tidak nyaman berada di antara dua laki-laki tua yang mempunyai nama besar di kalangan bisnis.

"Kara sayang, perkenalkan ini Ambros, sahabatku. Dan yang cantik itu cucunya, Felicia. Ambros, perkenalkan cucu menantuku, Kara Kartika," Daud Artasenjaya memperkenalkan Kara pada Ambros dan Felicia.

Dengan sedikit gugup, Kara menjabat keduanya. Ia sedikit tenang ketika merasakan genggaman Alodra di tangan kirinya mengerat, ibu jarinya bahkan mengusap pelan punggung tangannya, seolah memberitahu pada Kara, bahwa ia akan selau ada di sana bersama Kara.

"Hahaha... akhirnya Alodra menemukan jodohnya," tawa menggelegar Ambros ditingkahi oleh kekehan senang Daud Artasenjaya. Sementara Felicia tersenyum sopan.

"Kudengar kalian akan menikah sebulan ke depan? Benarkah? Kau benar-benar sudah mantap, Al?" tanya Ambros masih dengan sisa tawanya.

"Tentu, Kek," angguk Alodra sambil melirik Kara yang saat ini tengah menunduk dengan kedua pipi merona. Ingin sekali Alodra membawa Kara ke sudut sepi dan mencium pipi kemerahan itu dengan gemas.

Suara tawa menggema lagi.

"Bagaimana dengan Felicia? Apakah dia sudah punya kekasih?" tanya Daud Artasenjaya.

"Bagaimana Fel?" Ambros terkekeh, menoleh pada cucunya yang tersenyum jengah.

"Aku belum berpikir untuk menikah, Kek. Aku masih dalam taraf menyeleksi calon kekasih," ujarnya tersenyum.

"Nah, kau dengar sendiri jawabannya. Selalu itu yang ia katakan padaku jika aku bertanya tentang calon suami," ujar Ambros.

"Atau kau mau kuperkenalkan dlengan salah satu cucu-cucuku?" tanya Daud Artasenjaya tersenyum tenang.

"Tidak perlu, Kakek. Terima kasih," tolak Felicia dengan halus dan sopan.

"Sepertinya itu ide yang bagus, Daud. Kita bisa mempererat persahabatan kita dengan menikahkan salah satu cucumu dengan cucuku," kata Ambros mengangguk senang.

"Kakek!" Felicia tampak merengut manja pada sang Kakek. Kentara sekali bahwa gadis itu sangat dekat dengan Ambros.

"Hahaha... boleh... boleh... jika mereka punya anak, kita akan menimang cicit kita, menikmati sore sambil mengenang masa-masa muda kita," angguk Daud Artasenjaya menyetujui dengan gembira.

Kara menatap gadis cantik di hadapannya itu dengan iba. Ia menduga-duga, apakah gadis itu yang akan dijodohkan dengan Alodra jika Alodra tidak bertunangan dengannya? Kenapa Alodra menolak gadis sesempurna Felicia? Astaga! Sepetinya Kara harus segera memeriksakan mata dan kepala Alodra. Bagaimana mungkin Alodra justru memaksanya bertunangan dan menggiringnya ke pernikahan? Padahal jika dibandingkan dengan Felicia, Kara merasa bukanlah apa-apa.

Billionaires Love StoryWhere stories live. Discover now