BLS - 29

26K 3.9K 427
                                    

Alodra menarik tangan Kara dengan tidak sabar. Akhirnya ia berhasil membujuk gadis itu untuk berpura-pura menjadi kekasihnya di depan Daud Artasenjaya. Tentu saja setelah semalaman ia memohon dan menghiba, dengan sedikit tambahan bumbu di sana-sini agar Kara tidak dapat berkata 'tidak'.

Mereka tiba di depan sebuah pintu berwarna gelap yang tampak tebal, kokoh dan dingin. Jantung Kara berdegup kencang. Ia seperti akan berhadapan dengan penentu hidupnya. Sekarang ia harus berperan sebagai kekasih Alodra demi alasan kesehatan seorang laki-laki tua yang sangat disayangi Alodra yang ia tau sudah kehilangan kedua orang tuanya. Bahkan Alodra terlihat sangat menyedihkan semalam. Dan Kara yang sebenarnya berhati lembut segera saja jatuh iba dan bersedia membantu laki-laki menyebalkan itu.

Sebelum Alodra mengetuk, pintu tebal itu bergerak membuka. Seraut wajah laki-laki paruh baya muncul dan tersenyum, mengangguk hormat pada Alodra dan Kara.

"Tuan besar sudah menunggu anda, Tuan."

Alodra mengangguk kaku. Tangannya yang menggenggam jemari Kara terasa dingin. Ia seperti menuju tiang gantungan. Perlahan Alodra melangkah masuk sambil mengeratkan genggamannya pada Kara.

Di depan sana, di sebuah balkon yang cukup luas, Kara dan Alodra dapat melihat seorang tua dengan rambut abu-abu tengah duduk membelakangi mereka, menatap ke arah taman belakang.

"Kakek," panggil Alodra pelan, namun cukup untuk membuat pria tua itu berbalik
mutar kepalanya, lalu berdiri dan menghadap lurus, memandang Alodra dan Kara yang sedikit bergeser ke balik punggung Alodra.

"Alodra. Apakah dia?" tanya Daud Artasenjaya sedikit melongok, berusaha melihat wajah Kara yang tertutupi punggung cucunya.

"Ya," Alodra mengangguk, menghela pelan lengan Kara agar berdiri sejajar dengannya.

"Kemarilah, Nak," Daud Artasenjaya melambaikan tangannya pada Kara.

Wajah Kara menegang. Ia menggenggam erat dan mendongak menatap Alodra.

Alodra mengangguk, memberi isyarat pada Kara agar mendekati kakeknya.

Kara maju perlahan, mengangguk kecil, menghormat. Lidahnya kelu. Senyuman yang ia niatnya suguhkan hanya menyerupai ringisan.

Daud Artasenjaya meraih lengan Kara, menuntunnya untuk duduk di dekat kursi malasnya, lalu ia sendiri kembali duduk di tempatnya semula.

"Keluar, Al! Aku ingin bicara degan kekasihmu berdua saja!"

Kara dan Alodra saling pandang, lalu sama-sama menelan ludah.

"Kek, kau hanya ingin tau siapa kekasihku bukan? Sekarang kenapa aku harus meninggalkannya bersamamu?"

"Jangan membantah, Al! Lakukan saja!"

Bahu Alodra meluruh. Ia pasrah dengan apa yang akan terjadi. Saat ini ia hanya bisa mengandalkan Kara. Ia akan terbebas dari perjodohan dengan cucu keluarga Ambros atau tidak, semua berada di tangan Kara. Ia hanya bisa berharap agar Kara bisa menjawab semua pertanyaan kakeknya dengan meyakinkan.

Dengan enggan ia berbalik, berjalan gontai menuju pintu kamar.

"Al," Alodra berbalik mendapati Kara tersenyum padanya.

"Ya?"

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja," ujar Kara. Dan ucapan serta senyum Kara itu sudah membuat hati Alodra menjadi sangat tenang dan baik-baik saja.

Mata tua yang masih nampak tajam itu kini menatap Kara dari ujung rambut sampai ujung kaki begitu Alodra menutup pintu dari luar.

"Siapa namamu?"

Billionaires Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang