Bagian 18

1.7K 146 1
                                    

Happy reading♡

Milih-milih itu penting. Apalagi udah kaya, perhatian. Kalo nggak dipilih mubajir, jeng!

***

Ara termenung memikirkan perkataan Mysha yang memang benar. Bukannya ia tidak malu ketika berjalan beriringan dengan mereka. Bukannya Ara tidak merasa iri akan semua yang kedua temannya punya. Ia iri. Sangat iri.

Namun Ara hanya ingin menikmati hidupnya. Ara ingin bersenang-senang di masa mudanya, sebelum semua berubah dan ia harus menjalani kerasnya kehidupan. Memang belajar dan berprestasi itu perlu, tapi jika kapasitas otaknya hanya bisa menghasilkan demikian, ia bisa apa?

Memang ia malas, terus harus bagaimana? Apakah ia harus merubah dirinya menjadi seperti Mysha yang dimana-mana dan setiap waktu belajar?

Atau harus seperti Fara yang memang dari lahir sudah pintar? Bahkan Fara tidak perlu repot-repot mengulang mempelajari apa yang siangnya guru terangkan. Fara secerdas itu.

Sedangkan Ara? Hahaha ia bisa apa? Bisa menyalin tugas yang Mysha buat. Bahkan guru PKn yang hanya mengulang materi itu-itu saja, ia tidak pernah paham. Sungguh keterlaluan.

Dalam sekolah, ia memang seenaknya. Tidak memikirkan nilai dan hasil raportnya di setiap semester. Jika saja Mysha tidak sering memberikan tugasnya untuk disalin, Ara tidak tau akan jadi apa nilai raportnya.

Ara tertawa sumbang. Sebegitu bergantungnya ia pada Mysha. Dan karena itu juga ia tidak bisa marah. Mysha terlalu baik padanya meski sering kali mulutnya kalau ngomong sepedas cabai. Mysha yang menyelamatkan setiap nilainya, dengan begitu, ia juga yang menyelamatkan Ara dari omelan mamanya.

Tak disadari, air matanya menetes. Setidak bergunanya ia hidup. Bahkan ia tidak bisa jujur dengan nilainya, pada orang tuanya.

"Cih, nggak berguna banget lo, Ra." Ara mengusap jejak air mata yang tadi sempat menetes, kasar. Ia tersenyum masam.

Ara menegakkan tubuhnya. Ia berada di taman komplek rumahnya. Taman itu sepi, dan ramai saat weekend atau pagi hari.

Sekelebat isi pikiran tadi segera ia enyahkan. Ara tetap harus menjadi Ara. Tidak boleh menjadi atau meniru orang lain hanya untuk dianggap atau dipuji.

Ara menguatkan dirinya. "Gue ya gue, mereka ya mereka. Emangnya kalau gue malas, kenapa? Kalau gue bodoh, kenapa? Nggak ngaruh juga kan buat mereka. Gue bohong sama Papa-Mama juga kan gue yang dosa. Nggak bakal gue bagi-bagi! Pikir amat!"

Ara beranjak, ia ingin makan pedas sekarang juga. Jangan bakso, ia ingin makan nasi. Istirahat tadi ia hanya makan baksonya, enggak sempat mencicipi kuahnya. Tadi pagi juga hanya makan roti sedikit, tidak cukup untuk mengganjal perutnya yang seperti gentong air.

Ia memacu sepeda lipatnya pelan, ia bolos ngurir lagi hari ini. Ara membenarkan posisi topinya. Sekilas ia melihat penampilannya, kaus oblong berwarna hitam dengan tulisan 'i am cute' dan celana jeans berwarna putih. Sudah seperti kotoran cicak.

Ara berniat langsung pergi menggunakan sepeda ke sebuah warung ayam geprek yang tidak terlalu jauh dengan komplek perumahannya. Iya sih, bisa saja ia mampir dulu ke rumah mengambil motor, tapi ia kini memang sedang ingin naik sepeda. Sekalian olahraga biar keringat yang sudah mengendap keluar, saking jarangnya ia berkeringat.

^^^

Ara sudah duduk manis sambil meminum es jeruk. Ia sudah memesan seporsi ayam geprek, segelas es jeruk dan sebotol air mineral. Keringatnya tadi benar-benar keluar dan ia merasa sangat capek.

Setelah seporsi ayam geprek level lima belas di hadapannya, ia langsung menyerbu tanpa pikir panjang. Ara benar-benar lapar pemirsa!

Saat makanannya sudah habis setengah, ada seseorang yang mendekat, "Ara? Lo Ara, kan?" tanya orang itu memastikan.

IRIDESCENT [Completed]Where stories live. Discover now