30 || End

1.3K 74 2
                                    

Perlahan kubuka mataku, membiarkan cahaya masuk ke mataku. Beberapa detik kemudian, samar-samar aku mendengar suara gaduh dari luar atau mungkin dari kamar Farel.

"KALO SAMPAI KEISYA BENERAN SALAH PAHAM SAMA GUE, LO HABIS DITANGAN GUE! MASA BODO DENGAN EMBEL-EMBEL SEPUPU!"

"GUE REFLEKS, REL!"

"IYA! REFLEKS CEWEK MURAHAN.."

Air mataku menetes begitu saja mendengar perdebatan antar sepupu itu. Itu semua salahku bukan? Jika saja aku tidak hadir dikehidupan Farel, mungkin mereka masih akur. Tapi, sesungguhnya aku kecewa dengan perempuan itu.

Setelah mandi, aku memberanikan diri keluar dari kamar untuk turun, sarapan. Dibawah sudah ada Om Rian dan Tante Hanna. Aku tersenyum serta menyapa keduanya.

"Pagi juga, Keisya," balas keduanya secara bergantian.

"Ayo, sini! Sarapan."

"Iya, Om-- eh, maksudku iya, Pa."

Aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Terutama untuk Om Rian, aku jadi teringat sosok ayahku yang sudah tidak bersamaku selama bertahun-tahun lamanya.

Aku mulai menyendok nasi serta lauk pauknya dan mulai memakannya.

"Keisya, Farel kenapa? Kok mama dengar suara teriak-teriak?" tanya Tante Hanna yang membuatku terdiam.

"Gak tau, Ma. Aku juga dengar pas baru bangun tidur, jadi aku gak tau penyebabnya," bohongku.

"Anak itu, tak bisa akur dengan sepupunya sendiri. Heran," seru Om Rian yang membuatku menunduk.

"Farel ilfeel kali, Pa, sama Enelis. Papa gak ingat kalau Enelis pernah bilang kalau dia suka sama Farel? Mama juga kaget sih dengernya. Gak wajar juga."

Aku terbatuk-batuk mendengarnya. Kulihat Tante Hanna panik dan segera menyodorkanku segelas air putih. Aku meneguknya sampai habis.

"Pasti karena dengar percakapan kami," teka Om Rian yang membuatku menyengir.

"Maaf, Pa. Gak sengaja dengar."

****

Selesai sarapan, buru-buru aku naik lalu masuk ke kamar. Aku duduk dibalik pintu. Rencananya, aku ingin menguping perdebatan mereka sembari membaca novel baru pemberian Ramya.

Ngomong-ngomong tentang Ramya, hari ini dia dan keluarganya tengah berlibur ke pantai dengan Alan dan juga keluarganya. Kalian tau? Kemarin, di sela-sela pemotretan, Alan menelponku dan curhat. Katanya dia kebelet nikah. Jadilah sekarang keluarganya merestui dan akan tunangan 2 bulan kemudian. Hebat🌚

"Kakakku tersayang, kalian kenapa main disini terus? Kak Keisya gak diajak?"

Sudah kupastikan ini suara Kim.

"Keluar, dek. Aku ada urusan sama Farel. Sana keluar! Main sana sama Keisya-Keisya itu.."

"Kak Farel mau usir aku juga?"

Aku tidak mendengar suara. Sepertinya Farel terdiam. Aku menyimpulkan bahwa Farel ragu meninggalkan Enelis.

"KAK FAREL JAHAT! KAKAK GAK NEPATIN JANJI PAS ULANG TAHUN KAKAK! KIM SUMPAHIN KAKAK DIPUTUSIN SAMA KAK KEISYA!"

BRAK!

Lagi-lagi air mataku mengalir. Begitu dewasanya gadis kecil itu. Tapi, Kim, kamu benar. Aku rasa sumpahmu cukup logis.

Tok..tok...tok..

"Siapa?" tanyaku dingin. Aku lakukan itu karena ku yakin orang itu bukanlah Om Rian, ataupun Tante Hanna karena mereka sedang keluar sebentar.

"Aku.."

Ah, laki-laki itu. Suaranya membuatku semakin merasakan rasa kecewa itu.

"Pergilah!" ucapku tegas.

"Kei, aku mohon, buka pintunya. Aku bisa jelasin semuanya. Tolong jangan salah paham," ucap Farel dengan nada memaksa.

Aku berdiri tegap lalu melempar novel yang kupegang ke kasurku. Aku menghela napas pelan. Aku sudah menyiapkan semua semalam sebelum tidur. Aku memegang knop pintu dengan tegas lalu membukanya hingga menampakkan sosok yang membuatku kecewa.

"Kei, aku--"

Aku meletakkan jari telunjukku dibibir tak suci nya itu. Aku menatapnya tajam untuk menyiratkan rasa kecewaku padanya yang terus-terusan melukaiku.

"Kita...putus. Makasih untuk tontonannya semalam. Selamat tinggal," ucapku dingin lalu menutup pintu. Namun tanganku dicekal olehnya. Dia membawaku ke pelukan yang biasanya membuatku nyaman.

Aku mendorongnya begitu kuat agar dilepaskan namun Farel jauh lebih kuat dibanding aku yang tidak ada apa-apanya. Aku memukul dadanya kuat.

"LEPASIN!!"

"GAK!"

"LEPASIN ATAU GUE BENCI LO SELAMANYAA!"

Farel terdiam. Perlahan dia melonggarkan pelukannya. Apa dia terkejut?

"Lo-gue?" lirih Farel menunduk. Aku hanya diam dan terus menatapnya dengan tatapan kecewa hingga akhirnya aku masuk dan mengunci pintu kamarku.

Tubuhku merosot dibalik pintu. Aku terduduk dan kemudian menangis hebat. Aku berusaha menahan isakanku agar tidak mengeluarkan suara. Aku harus terlihat tegar oleh Farel.

"Maaf, Keisya..."

Aku semakin terisak mendengar suara itu. Tidak ada nada ceria didalamnya. Hanya suara sendu yang membuatku hatiku berdesir hebat.

Apa keputusanku sudah benar, bunda?

"Jika kesempatan itu ada, aku akan mempergunakannya sebaik mungkin, Kei. Asal kamu tau, aku membenci kalimatmu itu. Kalimat yang aku takutkan akan keluar dari mulut polosmu itu. Tapi sekarang?--"

Aku mendengar suaranya menjadi serak. Apa dia menangis? Ah, masa bodoh Keisya. Dia sudah mengecewakanmu.

"-- kalimat itu jelas-jelas kudengar langsung darimu. Maaf, aku gak bisa menjadi pacar yang baik."

Beberapa menit aku tidak mendengar suara, aku berdiri dan berbaring dikasur dan menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan seluruh emosiku melalui tangisan tak berguna itu. Aku terisak.

Aku harap, aku tidak akan luluh. Aku harap, aku tidak memberi kesempatan kedua nantinya.

"Maaf..."

To Be Continue
.
.
.
.
.
.
.
.

Gimana gimana?
Gak dapet feel nya ya?
Gak nangis kan?
Gak dong ya🌚✌️

Akhirnya putus woeee🌝👌

Vote n komen ya..

5 VOTE ++ AKU BARU UP!

Sincerity  [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang