Part 37

13.4K 290 25
                                    

Matahari semakin tinggi, membuat kamar itu perlahan lebih terang dari satu jam yang lalu. David masih berbaring di samping Ara, menatap wajah gadis itu tanpa bosan. Menunggu hingga istrinya membuka mata dan menatapnya untuk kali pertama sebelum memulai hari.
Kedua kelopak itu mulai terbuka, pelan dan mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda di kamar ini.

Sesuatu yang menghalangi sinar matahari menyorot tubuhnya. Aroma wangi yang sudah lama tidak dia hirup, atau pemandangan lain yang jarang dia lihat. Kelopak itu terbuka lebih lebar, berkedip pelan dengan tatapan sendu membalas mata David yang sedang menatapnya.

"Selamat pagi." sapa pria itu dengan suara lirih dan tangan yang membelai pipinya disusul dengan kecupan di kening. David tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana sebelum mengajak gadis ini bicara. "Kata docter, kau boleh pulang hari ini dan Ayah, Ibu tidak bisa menjemput mu." jelasnya sebelum Ara bertanya.
Gadis itu beringsut malas, sedikit menjauh agar bisa leluasa menatap istrinya "Jam berapa kau bangun?" dia tidak tahu apa yang dia tanyakan.

"Sekitar pukul 6 lebih 30 pagi." kening Ara mengerut saat melirik jam dinding.

"Kenapa pagi sekali, apa kau tidak pergi lagi" Ara terlanjur lelah untuk menghindar. Rasa rindunya lebih mendominasi dari pada rasa kecewanya. Memang apa yang akan di perdebatkan? Bukankah yang terpenting pria ini berada di hadapannya sekarang?

"Apa sejak semalam kau menatapku seperti ini?" tanya Ara polos.
"Mauku begitu, tapi kurasa tidak bisa. Kakak mu akan menguburku hidup-hidup jika aku nekat melakukannya. Semalam dia tidur disini bersamamu dan aku disofa."
"Kenapa?" selidik Ara ketika David tiba-tiba terdiam, senyum tipis dan aura jenaka dari matanya hilang.
"Aku benar-benar-"
"Kubilang jangan meminta maaf." gadis itu mulai gemas. Ingat dengan sesuatu yang terjadi diantara mereka.
David merubah posisi tidurnya, terlentang menatap langit-langit kamar rawat. "Biarkan aku minta maaf agar hatiku tenang. Sejak kemarin aku tidak bisa tidur, semalam pun begitu. Aku tidak akan berhenti meminta sampai kau mengizinkan dan memberiku maaf." kepalanya bergerak, menatap Ara yang juga sedang menatapnya. Senyum getirnya muncul.

"Bagaimana bisa ada gadis yang menolak permintaan maaf suaminya yang melupakan hari penting dalam hidupnya? Jika gadis lain, aku yakin mereka sudah menceraikan dan mendepak suaminya jauh-jauh."

"Karena aku bukan mereka." Ara mendekat, meletakkan kepala di lengan David yang dia bentangkan. "Terimakasih sudah pulang."
David bergerak miring, memeluk gadis itu hangat. Senyumnya melebar sampai menimbulkan kerutan dimatanya. "Jadi seperti ini rasanya pulang? Hangat, nyaman, dan menyenangkan."
Zidan David Virlando, pria itu adalah obat paling mujarab bagi rasa sepinya. Hatinya yang beberapa hari ini terasa dingin menghangat begitu saja. Kekecewaannya menguap. Yang ada hanya rasa bahagia. Dia begitu senang bisa memeluk tubuh kurus ini lagi. Napasnya terasa lapang karena aroma favoritnya bisa dia hirup lagi.

"Ara"

"Hmm?"

"Aku tahu tidak seharusnya aku melakukan ini, tapi.. boleh aku meminta satu hal?"

"Apa?" jawab gadis itu sambil mengeratkan pelukannya di tubuh David, menyurukkan wajah ke dada suaminya.

"Jangan katakan 'tidak' untuk hari ini."

Kening Ara mengerut, bingung dengan permintaan David. "Jangan macam-macam."

David mendorong tubuh Ara pelan. Dia beranjak dan mendudukan diri sebelum mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Tangannya mengepal di depan wajah Ara yang sudah ikut mendudukan diri.

Ara mengerjap, terlalu terkejut dengan apa yang dia lihat saat tangan David merenggang dan sesuatu menggantung disana. Sebuah kalung dengan liontin matahari. Yang membuatnya fokus bukan hanya bentuknya tapi juga warnanya.

My Teacher is My HusbandWhere stories live. Discover now