part 11

17K 470 2
                                    


"Aku tunggu disini saja. Aku tidak mau mengganggu mu."

David menoleh dari buku-buku yang sedang dia bereskan. "Apa aku menyuruhmu ikut denganku hanya untuk menungguku di tempat ini? Kau ikut denganku."

"Dav, tapi aku-"

Dan ketika pria itu menoleh untuk kali kedua dengan tatapan tajam, Ara tahu jika usahanya menolak akan berakhir sia-sia. Dia memilih diam, pasrah ketika David menyeretnya sampai mereka masuk ke dalam suatu ruangan yang cukup luas dengan meja dan kursi yang tertata rapi dan bagian depan terpampang papan tulis.

Disana sudah ada beberapa murid. Juga seorang laki-laki yang seumuran dengan David. Para murid perempuan itu sontak tersenyum, dalam hati Ara tahu jika penyebab semua itu adalah senyuman pria yang masih saja menggandengnya.

"Dav," berhenti sebelum dia sampai di tempat duduk pria itu.

"Apa lagi?"

Raut muka Ara berubah tidak enak, canggung sekaligus malu. Dia bukan siapa-siapa di tempat ini dan untuk apa dia ikut dalam acara mengajar sang kekasih sebagai guru les? "Aku akan menunggu di kursi ujung saja. Aku tidak mau di tatap oleh orang-orang itu."

David menoleh sekilas pada para murid dan teman nya. Dia sempat tidak yakin, asal gadis ini tidak keluar ruangan, dia akan menurutinya. "Dengan syarat kau duduk di sana sampai aku selesai. Jika kau melanggar, aku akan menghukummu."

"Aku mengerti, Pak Guru."

Ara berbalik, berjalan dengan canggung menuju kursi di pojok ruangan yang masih bisa terlihat jelas oleh David. Dia memperhatikan cara pria itu berinteraksi dengan para murid nya itu. Tersenyum ramah, bersikap begitu sopan, dan tentu saja berkharisma. Dari tatapan yang di berikan para murid perempuan itu, Ara bisa menangkap ada tatapan kagum atau mungkin lebih dari itu. Mereka begitu fokus menatap kekasihnya, sedikit ada gesture malu-malu karena terlalu grogi atau mungkin memang di sengaja untuk menggoda. Beruntungnya, seorang David bahkan nyaris tidak menatap mereka sama sekali kecuali saat menjelaskan tentang materi. Pria itu justru lebih sering mengajak para murid nya untuk berdiskusi.

David sesekali melirik pada gadisnya yang duduk manis di ujung sana. Tangannya terlipat diatas meja berukuran satu meter yang menutupi sebagian tubuhnya, terlihat bosan. Lalu ketika pada akhirnya tatapan mereka bertemu, hanya ada sebuah senyuman yang menyapa. Atau bahasa bibir yang mengatakan bahwa dia tidak apa-apa.

"Kekasihmu?" tanya salah seorang pria itu ikut memandang Ara.

David mengalihkan tatapannya pada Herry, pria yang baru saja bertanya. Dia tersenyum simpul. "Yah, kau juga bisa menyebutnya calon istri."

"Jauh lebih muda." kata Herry sambil melirik orang yang sedang mereka bicarakan.

"Hmm, sekitar 3 tahun. Bukankah dia cantik?"

Harry ikut tersenyum, dia tahu jika David begitu menginginkan gadis itu untuk hidup bersamanya. "Dia pasti kerepotan menerima cinta darimu."

David menggeleng. "Kau salah. Justru aku yang kerepotan mempertahankannya. Dia berbeda. Bahkan ketika aku mengajaknya menemui ayahnya untuk meminta restu agar kami bisa bertunangan, dia justru mengataiku gila." dia tergelak diujung kalimat.

"Aku yakin kalian akan menjadi pasangan yang bahagia nantinya. Pernikahan bisa kau urus nanti, yang perlu kau pikirkan adalah bagaimana membuatnya terus bahagia saat bersamamu."

"Tidak perlu kau jelaskan. Aku bahkan akan mati-matian mempertahankannya kalau perlu memaksanya agar dia menyerahkan diri padaku."

===ooo===

"Maaf, membuatmu menunggu."

"Dua jam, aku nyaris mati kebosanan." Ara memamerkan jam tangannya, dia berdiri lima langkah di samping David.

"Ada beberapa hal yang harus aku jelaskan pada mereka, sebelum mereka ujian Nasional." David masih membereskan buku-buku yang tercecer di atas meja. Tinggal mereka berdua dalam ruang kelas itu.

"Apa yang kalian bicarakan?" Ara bertanya.

"Tidak ada."

"Bohong. Aku melihatmu berbisik-bisik dengan teman mu itu."

David tersenyum tipis. "Dia hanya bertanya apakah kau tidak terlalu muda untukku."

"Wah, matanya benar-benar jeli!" Ara berseru takjub.

''Apa maksudmu?!" timpal David, terdengar nada tidak suka. Mencium bau-bau ejekan dari suara kekasihnya.

"Berapa yang kau jawab? Perbedaan usia kita?"

"Tiga tahun." jawab David tak acuh.

Hidung Ara mengenyit. "Pembual! Jelas-jelas kita berbeda tujuh tahun!"

David memasukkan semua buku dan leptop nya ke dalam tas . Dia beralih, menghadap Ara sepenuhnya. "Apa itu penting? Bukankah kau mau menerimaku dengan suka rela?"

"Empat tahun yang kau hilangkan, itu penting bagiku." debat Ara.

David maju tiga langkah. Menatap lurus ke arah mata gadis itu langsung. "Alasannya?"

Kepala gadis itu bergerak miring. "Eum... karena itu berarti kau membuatku lebih tua tiga tahun dari semestinya."

David tergelak tak percaya namun hilang dalam sekejap. Berganti dengan raut serius. Lagi, kakinya selangkah lebih dekat dengan kedua tangan tersimpan di saku celana. Kepalanya merunduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, membuat wajah mereka hanya sejarak dua senti. "Asal kau tahu, mau usiamu tua atau muda di mata mereka, toh semua itu tidak mengubah perasaanku. Hanya satu gadis yang masih membuatku bertahan dan ingin mengajaknya berjalan di masa depan. Dan itu.." jeda sejenak. "Kau."

Ara membuang tatapannya, merasa gerah secara mendadak.

David terdiam, menegak secara perlahan. Dia menatap lekat wajah polos kekasihnya. Dia mulai berpikir tentang pernikahan. Yah, dia harus segera mengkonfirmasi hal itu secepatnya. "Ayo, ada hal yang harus aku kerjakan."

Ara kembali menatap David, kini dengan sorot tidak suka. Dia mulai jengkel. Sejak kapan pria ini akan benar-benar meembuktikan ucapannya? "Apa ucapanmu tempo hari hanya bualan?" dia bertanya dengan raut kecewa. "Apa lagi yang akan kau kerjakan setelah ini?"

David mengulurkan tangan, mengelus kepala Ara.


---ooo----



To be continue

My Teacher is My HusbandWhere stories live. Discover now