♡25

14.2K 1.1K 129
                                    

"Pak Rahil, saya minta maaf, Pak?" Ucap Diza seketika.

"Saya juga minta maaf, Pak." Ucap Tami juga.

Rahil mengernyit. "Maksudnya?"

"Kita...kita...yang kemarin ke...Mia...ngomong...eh bicara..." Diza bingung harus ngomong apa.

Rahil berusaha mencerna perkataan kedua mahasiswinya. Dan ketika akhirnya kesadaran menghantamnya, jantungnya berdebar keras seketika. Emosinya perlahan naik. Kedua tangannya mengepal erat.

Dan perubahan itu jelas terlihat keempat mahasiswa tersebut. Mereka seolah sedang membangunkan macan tidur.

"Bersyukurlah kalian berdua perempuan." Desis Rahil penuh tekanan. "Kalau tidak, saya tidak berani tanggung jawab atas apa yang akan saya lakukan pada kalian." Geramnya. "Kalian sadar yang kalian lakukan itu pembullyan?"

Diza dan Tami ketakutan setengah mati dan otomatis menundukkan kepala sambil meremas-remas tangan. Air mata keduanya tanpa sadar meleleh.

"Sssaya...minta maaf, Pak." Ucap Tami penuh penyesalan.

"Saya tidak maksud begitu. Sssaya...saya cuma..." Diza terbata-bata.

"Cuma apa?!" Bentak Rahil lepas kendali.

Keempat mahasiswa yang ada di hadapan Rahil nyaris terlonjak saking kagetnya. Kemudian Leo dan Ilyas siap-siap seandainya Rahil lepas kendali walau mereka pikir juga tidak akan mungkin. Rahil seorang yang santun dan terkendali.

"Cuma iseng? Iri?" Cetus Rahil.

Diza dan Tami hanya bisa menangis sambil berucap maaf berkali-kali.

"Saya tidak butuh air mata kalian." Ujar Rahil dingin. "Sepertinya kalian lupa, penyesalan selalu di belakang. Dan rasanya akhir-akhir ini kata mulutmu harimaumu juga sering terdengar kan seiring banyaknya kasus pembullyan? Enteng sekali ngata-ngatain orang lalu minta maaf."

Rahil diam sejenak, benar-benar berusaha menenangkan diri sambil terus istighfar.

"Baik, maaf kalian saya terima. Tapi ini belum selesai. Saya punya kuasa penuh baik sebagai suami yang istrinya dibully juga sebagai dosen yang melihat mahasiswinya dibully. Kalian kuliah buat apa? Gengsi? Memangnya yang bayar kuliah siapa? Uang sendiri?"

Diza dan Tami menggeleng.

"Uang orang tua?"

Diza dan Tami mengangguk.

"Astaghfirullah...kalian betul-betul tidak kenal rasa syukur ya? Jangankan kuliah, untuk sekolah SD saja masih banyak di luaran sana yang susah atau harus menempuh jarak jauh dengan medan berat dan jalan kaki. Oh..." Rahil manggut-manggut. "Kalian mau saya kirim jadi sukarelawan di daerah terpencil? Biar jadi pelajaran bagus buat kalian agar tahu rasa syukur."

Diza dan Tami yang dari tadi menunduk spontan mendongak.

"Jjangan, Pak." Pinta keduanya serempak.

"Jangan? Ada hak apa kalian bilang jangan?" Tanya Rahil sinis. "Sikap kalian tidak mencerminkan orang yang berpendidikan tinggi." Ia kembali memijit pelipisnya. "Heran, kenapa akhir-akhir ini enteng sekali orang melakukan pembullyan? Hebat sekali bisa merasa benar sendiri."

Diza dan Tami menunduk lagi.

"Mia bukan orang berada. Mia bekerja dan berusaha bisa kuliah dengan sisa gaji yang dipakai untuk membantu orang tua, biar nantinya bisa dapat kerjaan yang lebih baik. Kalian tidak tahu dan saya yakin tidak akan peduli dengan kondisi ekonomi Mia. Karena Mia ceria. As if everything's fine. Kalian pikir Mia mau sakit? Senang merepotkan orang lain, gitu? Atau kalian ingin di posisi Mia? Sakit tidak sembuh-sembuh?"

Elle S'appelle MiaWhere stories live. Discover now