♡20

15.2K 1.1K 105
                                    

Mia berjalan canggung di samping Frannie saat mereka tengah belanja mingguan di pasar. Ucapan Camilla masih terngiang di telinganya.

"Kamu kenapa? Kok ngelamun?" Frannie mengusap punggung menantunya dengan lembut. "Nanti kesandung sama nabrak orang lho."

Mia menggeleng sambil tersenyum. "Nggak apa-apa, Ma."

"Are you sure? Atau karena Rahil nggak ikut?" Goda Frannie.

Wajah Mia memerah seketika. Ya, mereka ke pasar hanya bertiga. Ia bersama Mama-Papa mertua saja. Rahil sakit perut gara-gara tergoda sambal sarapannya dan Mbak Ira.

Mia dan Rahil sejak semalam menginap di rumah orang tua Rahil. Dan paginya saat sarapan, Mia berhasil membujuk Mbak Ira membuat sambel terong saat ART itu bilang ingin sambal tapi malas kalau makan sendirian. Awalnya Rahil ngomel takut istrinya sakit tapi lama-lama dia sendiri tergoda.

"Mamaaa..." seru Mia tersipu.

Terdengar kekehan Rashad dari belakang mereka. "Seru ya, Ma, pengantin baru?"

Frannie mengangguk. "Biasanya kalau ditinggal gini justru Rahil yang protes."

Heh? Batin Mia kaget.

Lalu tiba-tiba saja Mia ditarik Frannie ke sebuah toko baju yang ada di pasar.

"Bajunya bagus." Kata Frannie lalu memanggil pemilik toko. "Mbak, yang modelnya sama seperti di manequin ada?" Pintanya sambil menunjuk sebuah baju rumahan motif stripes.

"Ada, Ibu. Warna biru, hijau sama hitam." Pemilik toko mengangguk.

"Lihat yang hitam sama biru."

Sementara pemilik toko mengambilkan yang Frannie mau, ia melihat-lihat baju lain lalu tertarik pada sebuah daster panjang. Setelah memeriksa kondisi dan jahitannya, ia memisahkan daster tersebut. Lalu melihat yang lain lagi dan melihat satu set baju dan kerudungnya. Bajunya manis dan sederhana, walau kerudungnya ukurannya pendek dari standarnya tapi ia maklumi.

"Coba ini di pas. Sepertinya cocok buat kamu. Mia, sini." Frannie menyuruh menantunya mendekat lalu mengepasnya di badannya. "Oke kan, Pa?"

Rashad mengangguk. "Cocok. Cocok."

Frannie tersenyum lalu kembali memeriksa kondisi dan jahitannya. Setelah itu memisahkannya bersama daster tadi.

"Tapi, Ma, Pa, nggak usah. Mas Rahil kapan hari sudah beliin baju." Tolak Mia sungkan.

"Itu kan Mas Rahil. Ini Mama. Sudah, diam."

"Ibu, ini." Pemilik tadi memberikan dua warna baju yang dimaksud. "Dibuka saja boleh."

Setelah dilihat, akhirnya Frannie memilih yang warna biru. "Harganya berapa? Sama dua yang itu."

"Dasternya tujuh puluh, Ibu. Kalau gamis setnya seratus lima belas. Yang gamis birunya seratus dua puluh." Jawab pemilik toko.

"Nggak boleh kurang nih?" Tanya Frannie.

"Lima ribu saja, Bu, ya per baju? Dasternya enam lima, gamis setnya seratus sepuluh dan gamisnya seratus lima belas. Semuanya dua ratus sembilan puluh."

Frannie menyerahkan uang tigaratus ribu.

"Sepuluh ribu, Ibu, ya kembaliannya. Terima kasih. Penglaris. Penglaris." Pemilik toko memberikan uang kembalian lalu mengipas sambil menyentuhkan uang yang diterimanya ke baju-baju yang ada di dekatnya sambil tertawa.

Khas penjual jika ia menerima pembeli pertama dengan harapan sang pembeli akan membuka jalan untuk rejeki berikutnya walau tentu saja sang penjual tahu bahwa rejeki itu dari Yang Maha Kuasa. Tapi tindakannya itu seperti sebuah tradisi.

Elle S'appelle MiaWhere stories live. Discover now