♡26

14.3K 1.1K 59
                                    

Rahil baru saja memasuki ruang dosen selesai mengajar saat diberitahu ada yang ingin bertemu. Wali mahasiswi bernama Gadiza.

Rahil mengangguk dan segera menemui tamunya. Seorang lelaki lima puluh tahunan yang tampak perlente dengan baju batik lengan panjang dan celana kain hitam, perutnya sedikit buncit.

"Bapak Rahil?" Tanya lelaki tersebut dengan nada berwibawa yang tak mempengaruhi Rahil sama sekali.

"Benar. Saya Rahil." Ia menjabat tangan tamunya mantap dan tersenyum ramah.

"Saya Kuncoro, Papi Gadiza." Katanya.

Rahil mengangguk. "Silahkan duduk. Ada yang bisa saya bantu?"

Kuncoro duduk setelah Rahil lalu meletakkan sebuah surat di atas meja di hadapan Rahil tepat. "Apa maksud surat peringatan ini?" Tanyanya dengan nada tak suka.

"Oh itu?" Rahil melirik sekilas dengan santai. Tak terintimidasi sedikitpun. Ia tersenyum. "Seperti yang tertulis. Apakah kurang jelas?"

"Gadiza tidak mungkin membully orang lain." Bela Kuncoro.

"Anda ada di tempat saat kejadian?" Tanya Rahil tenang.

"Anda subyektif. Sebagai dosen harusnya obyektif." Tuduh Kuncoro.

Rahil menatap Papi Diza dengan tenang. "Sebagai suami, tentu saya tidak terima istri saya dibully. Dan sebagai dosen, saya tidak mentoleransi adanya bullying di kampus ini. Kebetulan istri saya sebagai korban. Bullying itu tidak harus secara fisik. Verbal juga sama mematikannya. Sama-sama membuat trauma dan tertekan. Dan istri saya tertekan. Sampai hari ini belum bisa ke kampus."

"Istri anda saja yang terlalu baper." Ujar Kuncoro.

"Really? Bagaimana kalau Gadiza yang ada di posisi istri saya? Bagaimana perasaan Bapak kalau Gadiza sakit-sakitan dan di saat yang sama dibully juga? Anda senang?" Sahut Rahil penuh tekanan.

"Yya..itu...Lho? Bapak mendoakan anak saya sakit?" Tanya Kuncoro emosi.

Rahil menggeleng sambil tersenyum. "Bapak tidak mendengarkan saya. Saya hanya mengatakan kalau situasinya dibalik bagaimana?"

Wajah Kuncoro memerah. "Rasanya Gadiza tidak mungkin membully istri Bapak. Dia pasti cuma guyon. Namanya anak remaja...Saya kenal bagaimana anak saya. Tidak usahlah sampai dipolisikan."

"Gadiza bukan remaja lagi. Saat ini saya memaafkan Gadiza. Tapi tergantung situasi." Rahil duduk bersandar sambil bersedekap.

"Gadiza kan cuma ngefans sama Bapak."

Rahil mengangguk. "Apapun alasannya, dia tidak berhak menyakiti orang lain. Apa salah istri saya pada dia?"

"Namanya juga remaja yang lagi puber, Pak. Maklumi sajalah...dia merasa ditikung saja oleh istri Bapak."

Rahil mengernyit. Ingin rasanya tertawa mendengar pengakuan konyol lelaki di depannya. Anaknya begitu, Bapaknya saja begini. "Ditikung istri saya? Saya tidak salah dengar? Sejak kapan saya punya hubungan pribadi dengan Gadiza? Sebelum menikah saja saya tidak punya hubungan pribadi dengan istri saya, apalagi orang lain." Ia menatap lekat tamunya. "Jadi, mari to the point. Maksud Bapak kesini untuk apa? Masih bagus hanya surat peringatan yang Bapak terima, bukan surat panggilan kepolisian. Saya masih mengingatkan tentang kelakuan anak Bapak, berharap keluarganya bisa meluruskan."

"Bapak mengancam saya? Saya ini anggota DPRD." Tegas Kuncoro.

"Ya, terus?" Sahut Rahil santai.

"Jangan main-main dengan saya. Saya juga punya teman-teman di kepolisian dan TNI yang bisa membantu kalau diperlukan karena saya yakin Gadiza tidak bersalah. Cuma masalah sepele kelakuan remaja."

Elle S'appelle MiaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon