♡11

13.6K 1.1K 134
                                    

Dua hari kemudian Rahil bersama orang tuanya menemui orang tua Mia di Surabaya untuk melamar secara resmi. Mia tidak ikut dengan alasan kondisi kesehatan yang tak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh. Saat itu juga langsung ditentukan hari pernikahan mereka. Dua bulan kemudian.

"Ehm, Bu Ai?" Panggil Mia saat sarapan esok harinya.

"Iya?" Ai yang tengah mengambilkan suaminya nasi dan lauk menoleh. Mereka sarapan pecel.

Wajah Mia tampak ragu. "Saya...tidak bisa bahasa Perancis."

Kedua alis Ai dan Rene terangkat.

"Kenapa dengan kamu tidak bisa bahasa Perancis? Kamu ingin belajar?" Tanya Ai lembut lalu memberikan piring suaminya.

Mia menggeleng. "Kan...Bu Ai, Pak Rene, Pak Rahil, Bu Frannie bisa ngomong Perancis..." terangnya lirih.

Ai masih memandangnya bingung. "Terus..."

"Kalau saya menikah dengan Pak Rahil tapi saya tidak bisa ngomong Perancis...nanti..." Mia menggigit bibir bawahbya, bingung menjelaskannya.

"Kamu takut tidak nyambung atau apa?" Tanya Rene.

Mia menggeleng lagi. "Bukan. Ehm...atau iya. Kan kalau ngobrolnya pakai bahasa Perancis, saya tidak ngerti."

"Saya juga nggak ngerti maksud kamu. Tapi yang jelas sih bukan keharusan dan tak ada hubungannya menikah dengan bahasa Perancis. Kalau saya dan keluarga ngobrol pakai bahasa Perancis ya karena kami diajarkan bahasa itu. Tapi seperti kataku tadi, bukan berarti pasangan kami harus bisa bahasa Perancis. Suami saya memang kebetulan blasteran Perancis."

"Gitu? Jadi tidak apa-apa ya?"

Ai tersenyum gemas. "Kamu lucu. Sudah, sarapan dulu."

"Iya."

Tak lama kemudian, seperti biasa, Mia ke kampusnya nebeng sampai gerbang depan.

Jam pertama adalah kelasnya Rene. Speaking. Walaupun kemarinnya Mia sudah resmi dilamar tapi Rene bersikap biasa saja seolah tak ada apa-apa.

Dan atas kesepakatan bersama, demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan, lamaran tersebut tetap dirahasiakan sampai hari H-nya nanti. Apalagi teman-teman Mia masih kerap suka menggodanya.

"Mia, ke kantin yuk?" Tanpa menunggu persetujuan Mia, Winda menggandeng lengan temannya itu dan mengajaknya ke kantin. Ridwan juga. Karena mereka tiga serangkai.

"Makan apa nih?" Tanya Ridwan. Biasanya yang pesan akan bayar dulu, baru diganti setelah makanan datang. Atau langsung kasih uang di depan.

"Soto ayam. Nasinya separo. Nggak pakai sambel." Kata Mia menyebutkan pesanannya. "Minumnya teh panas."

Ridwan mencibir. "Nggak pedes, nggak afdol."

Mia merengut sedih. "Nggak boleh makan pedes dulu." Terutama oleh Rahil.

Ridwan dan Winda tertawa kasihan. Mia yang suka pedas dilarang makan pedas.

"Aku mie ayam sama es janggelan." Pesan Winda setelah tawanya reda.

"Oke. Tunggu ya." Ridwan langsung pergi.

Tapi tak lama kemudian datang Ilyas, anak kelas sebelah dan juga Mapala. Juga salah satu idola kelasnya. Dia duduk di depan Mia, tempat yang seharusnya untuk Ridwan.

"Hai, Mi. Sudah sehat?" Tanya Ilyas penuh perhatian.

Mia tersenyum. Walaupun tidak akrab tapi ia kenal Ilyas. Sering main dengan Ridwan juga. "Alhamdulillah."

"Maaf ya nggak bisa jengukin. Aku juga habis sakit. Terus kamu katanya pulang ke Surabaya."

"Cieee..." seru Winda cengengesan.

Elle S'appelle MiaWhere stories live. Discover now