-36-

2.1K 218 5
                                    

"Ayo kita bertunangan" seru Davin bersemangat.

Sekarang giliranku yang harus terdiam cukup lama. Tidak tahu harus memberikan respon apa. Apa aku salah dengar? Apa dia benar-benar mengatakan itu?

"Halo?" Suara Davin yang mendesak disana membuatku tersadar dari keterkejutanku.

"Kamu bercanda kan?" Jawabku setengah menuduh dan setengah tidak yakin.

"Im freaking serious right now" sahut Davin penuh keyakinan.

"Are you crazy? Tunangan bukan hal sesimpel itu. Tunangan bukan ikatan yang muncul hanya karna kamu terinspirasi sama temen kamu. Tunangan itu gerbang ke pintu pernikahan, menggabungkan dua keluarga hal yang serius Davin. Gimana mungkin kamu bilang ayo tunangan dengan gampangnya." Sahutku dengan nada yang serius. Aku tidak habis pikir bagaimana ide untuk bertunangan bisa muncul di kepalanya.

"Siapa bilang aku anggep ini simpel? siapa bilang aku cuman bilang gini karna Gideon? Im bloody serious Kara. I love you! Dont you love me?" Sanggah Davin dengan nada yang tidak kalah serius.

"Ofcourse I love you too! You know that I love you so much! Tapi nggak cukup dengan cinta aja Davin. Kita 19 tahun! Kita masih remaja, perjalanan kita masih panjang. Gimana kalo nanti kamu nemuin yang lebih baik dari aku?"

Aku belum selesai berbicara dan Davin memotong kalimatku. "Kamu yang terbaik."

Aku hanya bisa memutar bolamataku. "Gimana kalo nanti perasaan kamu luntur seiring waktu? Perasaan kamu berubah? Remaja mudah berubah Davin." Lanjutku.

"Nggak akan. Aku udah 100% 1000% yakin sama kamu. Aku nggak mau yang lain." Jawabnya segera. Sedikit banyak jawabannya membuatku sangat senang. Aku tersanjung Davin mengatakan hal seperti itu. Tapi tetap saja, menurutku tunangan terlalu cepat untuk kami yang baru memulai hubungan barely 2 months.

"Apa kamu nggak yakin sama hubungan kita?" Lanjut Davin pelan, suaranya hampir berbisik dan memiliki keraguan didalamnya.

Aku menghela nafas dan menurunkan kembali suaraku yang sedari tadi tanpa sengaja meninggi karena perdebatan kami. "Aku yakin Davin. Demi apapun aku pingin kamu jadi yang pertama dan terakhir buatku." Jawabku.

"Lalu apa masalahnya Kara?" Davin ikut menurunkan suaranya.

Aku terdiam kembali. Memikirkan jawaban yang tepat dan bisa diterima oleh otak logis Davin. "Aku cuman nggak mau nantinya kita nyesel karna kita terlalu cepet ambil keputusan. Kita masih punya cita-cita yang harus kita capai. Kita punya karir yang harus kita jalani."

"Apa yang buat kamu berpikir kalo setelah tunangan kita nggak bisa raih impian kita? Kita bahkan masih bisa menitih karir setelah menikah. Alasan kamu terlalu dibuat-buat Kara. Apa yang sebenernya bikin kamu ragu?" Balas Davin. Well, that was a good point. Apa yang dia katakan benar, dan aku tidak tahu lagi harus menjawab apa.

"I don't know Vin. Apa kamu bener-bener yakin sama aku? Aku seperti ini, aku nggak sempurna, aku banyak kekurangannya. Gimana kalo nanti waktu aku di Italia kamu ketemu sama cewek yang lebih baik, dan kamu jatuh cinta sama dia? Aku nggak mau ngikat kamu, karna 4 tahun bukan waktu yang singkat Vin. Kalo itu terjadi kita cuma akan menyakiti satu sama lain." Akhirnya aku mengeluarkan semua kekhawatiranku yang sebenarnya. Jika kami terikat, dan Davin menemukan cinta lain, dia hanya akan sakit karna tidak bisa mendapatkan cintanya. Begitu pula aku, aku juga akan tersakiti jika sadar dia tidak lagi sepenuhnya milikku.

Davin terdiam. Beberapa kali aku bisa mendengarnya menghela nafas dalam. Aku menggigit bibir bagian dalamku, cemas menunggu balasan darinya. "Aku juga takut kamu bakalan suka sama cowok lain disana. Bule kan ganteng-ganteng, gimana kalo kamu nanti digodain cowok lain disana? Gimana kalo kamu suka sama cowok disana dan lebih milih dia?" Ucap Davin akhirnya.

Beautiful CurveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang