-19-

2.5K 244 8
                                    

"Hai Ra, udah kelar?" Sapa Davin saat aku masuk mobilnya yang terparkir didepan gym.

Hari ketiga di gym tidak seburuk sebelumnya, tapi juga tidak sebaik itu. Sangat melelahkan, itu pasti. Tapi tidak lebih melelahkan dari sebelumnya. Hari ini aku lebih difokuskan pada angkat beban. Sit up dengan beban, mengangkat dan menarik beban dengan tangan, dengan kaki juga. Semua tentang mengangkat beban. Sangat kentara bahwa mereka ingin membuat lengan, kaki, dan perutku terlihat kencang dimajalah. Ini tidak membuat sekujur badanku yang dari awal sudah nyeri, menjadi lebih baik. Malahan sebaliknya, memikirkan aku harus melakukan ini selama empat hari lagi membuat kepalaku sakit.

Aku duduk dan memasang sabuk pengaman. "Ya.." jawabku singkat sambil meghela nafas panjang.

"Capek Ra?"

"Banget" aku menghela nafas lagi dan menutup mataku, mencoba menghilangkan sakit dikepalaku.

Kami berdua terdiam beberapa saat. Aku sudah akan bertanya kenapa Davin tidak segera menjalankan mobilnya, ketika dia bertanya lagi, "lo gak papa kan Ra?"

Aku hanya terdiam memikirkan pertanyaannya. Apa aku gak papa? Aku nggak gak papa. Tiba-tiba aku merasa sangat rapuh, dan mataku terasa panas. You know, when you dont feel alright and people ask you "are you alright?" You will breaking down and just want to cry hard. Atau saat kalian menangis, dan orang bertanya "kamu kenapa?" Kamu pasti ingin menangis semakin keras. Itulah yang kurasakan sekarang.

Aku berusaha keras menahan tangisku yang sudah ada diujung tanduk. Aku sama sekali tidak sadar ada air mata yang lolos sampai merasakan tangan hangat Davin diwajahku, menghapus airmata yang menetes. Aku segera membuka mataku terkejut dan membuang muka. Melihat kearah jendela, menghindari tatapan Davin sambil menghapus sisa-sisa airmataku.

"Ra?"

Aku hanya diam.

"Lo kenapa nangis?" Ugh seriously Davin?! Dont ask that question!

"Just shut up and drive me home!" Bentakku tanpa menatapnya.

Davin terdiam beberapa saat, sebelum menjawab pelan, "oh oke.." nada suaranya menyiratkan kesedihan, membuatku sadar aku membuat kesalahan.

Aku menoleh kearah Davin, dia menatap kosong kearah jalan raya didepannya. Aku meraih tangannya, kugenggam dan kuremas pelan. "Im so sorry Davin. Im really sorry. I didn't mean to hurt you." Ucapku sangat menyesal sudah membentak orang yang mengkhawatirkanku.

"I know. Its okay. Lo bisa luapin emosi lo ke gue Ra." Ucapnya semakin membuatku merasa bersalah. "Lo juga tau kan kalo lo bisa cerita apapun sama gue?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Aku cuma capek banget. Ini berat banget Vin. Jauh lebih berat dari dugaanku. Badanku rasanya gak kuat lagi Vin. Aku bahkan ngerepotin orang dirumah tadi pagi, minta aspirinlah, minta koyolah, segala kompres. Aku mulai mikir, kenapa aku ngelakuin ini? Apa semua ini worth it? Ini bahkan bukan cita-citaku. Hanya batu pijakan tapi susahnya udah kaya gini. Gimana nanti Vin? Rasanya pingin nyerah aja." Kali ini aku membiarkan airmataku menetes begitu saja. Davin cowok kedua yang berhasil membuatku terbuka dan sepenuhnya percaya. Setelah kak Vino.

Davin hanya diam, membiarkanku puas menangis dan mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya. Setelah aku mulai tenang dan berhenti menangis, dia memberiku beberapa lembar tisu yang kugunakan untuk menghapus airmata dan ingusku. Eeeww, I know.

"Udah nangisnya?" Tanya Davin yang hanya kujawab dengan anggukan. "Sekarang dengerin gue. Yang pertama, you did a good job. Lo bikin gue bangga sama perjuangan lo. Lo bikin gue kagum sama tekad lo buat raih mimpi lo. Lo harus tau kalo lo itu prang yang selalu bisa bikin gue terinspirasi sama kegigihan lo. Lo hebat Ra, lo udah kerja keras." Davin mengelus rambutku.

Beautiful CurveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang