"Benarkah? Apa diamond nya tidak terlalu ramai? Tidak berlebihan?" Ucapku dengan nada ragu.

Dena menggelengkan kepalanya dengan yakin. "Karna dressmu polos, sedikit kilauan tidak akan masalah. Belilah yang ini, tapi satu angka dibawah nomor yang kau pakai, itu terlihat sedikit kebesaran. go go" ucapnya bersemangat.

Aku mengenakan nomer 40, sesuai nomor sepatuku biasanya. Tapi memang ini sedikit terlalu besar. Terkadang memang aku bisa juga menggunakan nomor 39, karna kakiku 40 yang kecil. Aku segera memanggil karyawan toko sepatu itu dan menanyakan ketersediaan sepatu ditanganku dengan nomor 39, dan karyawan itu bilang akan dicek kan terlebih dahulu.

Sembari menunggu, aku memperhatikan Dena yang masih melihat lihat sepatu yang dipajang. Dia mengambil sepatu hitam yang sederhana tapi heelsnya sangat tinggi, mungkin 12cm. Apa aku sudah bilang kalau Dena memang mungil? Tingginya hanya 158cm. Jika berjalan disampingnya dia akan terlihat seperti adikku, atau mungkin ada orang yang akan berpikir dia anakku. Sepatu hitam ditangan Dena, berbahan beludru dan memiliki stiletto heels yang runcing berwarna emas. Disamping bagian luarnya terdapat garis lengkung yang panjang berwarna emas juga.

"What do you think?" Tanya Dena padaku setelah mengenakan sepatu itu.

"Nice.. tapi apa tidak terlalu simple?" Tanyaku balik.

"Ini sudah ada detailnya disamping" ucap Dena menunjukkan garis emas yang sudah kuperhatikan. "Kamu tau kan dressku sudah bermotif. Kalau terlalu banyak detail, akan jadi berlebihan" jelasnya.

"You are right. Its perfect" aku setuju dengan pendapat Dena. Disambut senyuman oleh Dena yang langsung menyerahkan sepatu itu pada karyawan juga untuk dicarikan nomor yang pas dengan ukuran kakinya, yaitu 36.

Karyawan datang membawa 2 heels yang kami inginkan. Puas dengan penampakan kedua heels tersebut, tanpa menunggu lama kami membeli keduanya. Setelah membayar heels yang kini sudah menjadi milik kami di kasir, aku menawarkan mentraktir Dena makan malam seperti rencana awalku. Tidak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 18.30. Kami memutari mall lebih dari 2 jam. Pantas saja kakiku terasa pegal, dan perutku kelaparan.

Setelah mempertimbangkan foodcourt mall yang pasti sangat penuh saat weekend dan tidak akan ada tempat duduk tersisa untuk kami, kami memutuskan untuk makan disebuah cafe yang ada didalam mall tersebut. Cafe yang menghidangkan menu khusus pasta, dan aku tahu cafe ini adalah favorit kak Bella. Mungkin nanti aku akan memesan beberapa makanan untuk dibawa pulang, kak Bella pasti suka.

Cafe ini memiliki ruangan yang sangat luas dan memiliki banyak meja didalamnya. Beberapa meja juga diletakkan diluar ruangan, khusus untuk area merokok. Temanya klasik, dengan dinding berwarna coklat, dan dipenuhi foto foto dan hiasan dinding lainnya. Disalah satu dinding yang paling lebar terdapat sebuah gambar secangkir kopi yang mengeluarkan uap panas yang terbentuk dari banyak kata seperti coffe, americano, cappucino, mocca, dan banyak jenis kopi lainnya. Cafe ini juga menawarkan kenyamanan yang ekstra, selain tempat duduk yang berupa sofa, mereka memberikan alunan music live dari penyanyi-penyanyi indi. Terdapat panggung dibagian paling depan cafe, tempat musisi memainkan alat musiknya dan bernyanyi.

Kami memilih tempat duduk yang terjauh dari pintu masuk, tidak terlalu ingin terganggu dengan banyaknya orang yang berlalu lalang diluar. Dengan jauh dari keramaian diluar, kami bisa lebih menikmati live music yang ada didalam. Kami memesan 2 spageti carbonara, 1 Choco milk hangat untuk Dena, dan 1 Mocca frape untukku.

Makanan kami datang sekitar 15 menit kemudian, bersamaan dengan diamtarnya minuman kami. Saat ini lagu yang dinyanyikan diatas panggung adalah lagu upbeat dari Anne Marie yang berjudul 2002. Sambil menikmati alunan musik, kami menyantap makanan kami dengan santai. Sesekali kami membicarakan tentang ujian sekolah besok dan ujian praktikum. Kami juga tidak lupa membicarakan acara promnite minggu depan. Membicarakan Bayu dan kak Vino. Bahkan membicarakan Leo dan Devin. Kami membicarakan semua hal.

"Den, aku kekamar mandi dulu ya" pamitku pada Dena yang diresponnya dengan anggukan.

Aku membawa tas tanganku, dan berjalan kekamar mandi yang ada didalam cafe. Kamar mandi itu terletak di pojok kanan, setelah memasuki lorong kecil yang letaknya ada di samping kiri kasir cafe. Toilet tampak sedikit lenggang saat aku masuk. Tidak ada antrian panjang yang menyebalkan seperti yang pasti terjadi di toilet umum mall. Setelah selesai dengan urusanku didalam salah satu stall di toilet, aku berdiri didepan cermin, mencuci tanganku, dan sedikit melakukan touch up pada wajahku. Mengoles kembali lipstick nude ku pada bibir yang kini sudah polos karna warnanya terhapus saat makan.

Aku segera berjalan kembali menuju mejaku, saat aku melihat wajah yang sama sekali tidak asing sedang ada di depan kasir, sedang mengantri untuk memesan makanannya. Sepertinya dia baru datang. Aku tersenyum senang karna bisa bertemu disini dengannya. Benar-benar suatu kebetulan. Tapi jika dipikirkan lagi, tidak heran jika kami bertemu di cafe ini. Secara, ini adalah cafe favoritnya. Ya aku melihat kak Bella berdiri diantrian kasir sendirian. Aku akan menyapanya dan mengajaknya bergabung bersama kami.

Aku berjalan mendekat dengan senyuman yang secara otomatis tercetak diwajahku. Aku tidak perlu membawa pulang makanan dari cafe ini untuknya nanti, karena dia sudah ada disini.

Langkahku terhenti saat aku melihat seorang laki-laki mendatanginya. Laki-laki itu memunggungiku, jadi aku tidak tahu siapa dia. Dia merangkul pundak kakakku, dan aku melihat senyuman kak Bella merekah setelah menatapnya. Laki-laki itu kemudian mencium rambut bagian samping kakakku. Aku semakin bertanya-tanya, siapa dia? Kak Bella sudah punya pacar? Aku tidak pernah tahu kalau dia sedang dalam hubungan dengan seseorang. Ini aneh, karna kak Bella selalu menceritakan semua hal padaku.

Aku memutuskan untuk berjalan semakin mendekat. Mereka tampak sedang berbicara dan tertawa karena suatu hal. Dengan badan yang masih menghadap kak Bella sepenuhnya dan memunggungiku, laki-laki itu membungkuk dan mengecup bibir kak Bella sekilas. Didepan umum? Seriously? Saat jarakku hanya terpaut beberapa langkah, laki-laki itu kemudian beralih menghadap kasir karena mereka sudah berada diantrian paling depan. Membuatku bisa melihat figurnya meskipun hanya dari samping.

DEG
Walaupun hanya melihatnya dari samping, aku sangat mengenal sosok itu. Sama seperti aku mampu mengenali kak Bella walaupun hanya dari samping. Dia sedang memandang menu yang ada dibelakang kepala kasir dengan tangan yang masih merangkul pundak kak Bella, saat aku merasakan sesuatu yang hangat dipipiku. Aku mengalihkan pandangan dari mereka, aku berputar dan memunggungi mereka. Aku menyentuh pipiku untuk menemukan bahwa aku sudah menangis. Aku segera menghapus air mataku, menangis bukanlah salah satu kebiasaanku.

Aku kembali kemejaku dengan setiap langkah yang kupercepat. Segera setelah sampai dimejaku, aku mengambil tas belanjaanku yang entah apakah masih bisa kupakai setelah ini. Aku menarik tangan Dena yang masih duduk memandangku dengan wajah kebingungan.

"Kita harus segera pergi dari sini" ucapku dengan suara parau karena menahan tangisanku yang aku yakin akan pecah jika aku tidak segera pergi dari sini dan menenangkan diri.

"Why? Ada apa? Ada masalah?" Dena bertanya dengan khawatir, dia berdiri dan mengikutiku keluar dari cafe secepat mungkin.

"Aku tidak mau melihat mereka disini, aku tidak mau mereka milhatku disini" racauku tidak tahu lagi harus bagaimana menjelaskan. Pikiranku sangat kacau saat ini.

"Mereka? Siapa? Kamu ngomong apasih Kara?" Dena menggenggam tanganku erat, meremasnya. Berusaha menenangkanku.

Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan tajam. "Kak Bella dan kak Vino. Mereka didalam." Ucapku akhirnya. Airmata kembali menetes dipipiku. Membuat mata Dena membelalak karena selama ini dia tidak pernah melihatku menangis.

--------------

Beautiful CurveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang