-1-

8.1K 397 6
                                    

Saat ini aku berada diruangan yang cukup besar, lebih besar dari ukuran kelas disekolahku. Pencahayaannya tidak terlalu terang, hanya cukup untuk membuatmu dapat melihat dan membaca dengan jelas. Tidak ada jendela untuk matahari bisa masuk, hanya beberapa ventilasi kecil yang ada di atap. Seluruh dinding dilapisi wallpaper dinding dengan warna maroon bermotif batik berwarna emas. Terpajang banyak piagam piagam penghargaan, ataupun segala macam prestasi yang pernah didapatkan sekolahku. Aku melirik kesamping, terdapat sebuah lemari besar dan panjang yang memenuhi sisi kanan ruangan, berisi piala dengan berbagai macam ukuran yang ditata dengan apik dan dipoles berkilauan.

Aku duduk disalah satu kursi yang ada didepan meja besar, meja yang terlihat kokoh dan terbuat dari kayu jati. Banyak tumpukan file-file dan berkas diatasnya. Dibelakang meja tersebut duduk seorang laki-laki berkumis tebal dan berkacamata berbentuk oval, menatapku dengan sangat intens. Tatapannya begitu tajam, meneriakkan otoritas. Membuatku terus melihat sekitar ruangan, tidak nyaman. Tidak ingin bertatapan dengannya.

Pak Steven, kepala sekolahku memanggilku ke kantornya siang ini setelah istirahat usai. Well, ini bukan yang pertama kali, aku sering dipanggil ke kantornya dengan banyak alasan berbeda. Kadang prestasi, kadang masalah. Kali ini sudah jelas aku membuat masalah, maka dari itu aku tidak berani menatapnya. Pak Steven bukan kepala sekolah yang galak, dia sangat bersahabat dengan semua muridnya. Tapi dia bisa sangat tegas saat diperlukan. Aku menghormati pak Steven. Kurasa dia seumuran dengan papa.

"Kamu tau kan kenapa kamu saya panggil kali ini?" Ucapnya mengawali perbincangan kami. Aku hanya menganggukkan kepalaku pelan.

"Tapi pak, saya hanya membela diri. Bapak tau saya, saya tidak mungkin melakukan hal itu jika mereka tidak mengganggu saya terlebih dahulu" aku memberikan pembelaan.

Pak Steven hanya menghela nafas keras. Seakan-akan dengan melakukan itu, semua masalah yang kubuat akan selesai seketika. Kemudian menggelengkan kepalanya, dan memijit pelipisnya. Oh come on! Ini tidak separah itu.

"Apa kamu tahu perbuatan kamu bisa menyeretmu ke meja hijau jika orang tua mereka tidak terima?" tatapannya melembut, tampak lelah. Sedikit banyak aku merasa bersalah membuat pekerjaannya bertambah.

"Saya tahu pak. Tapi saya juga tahu bapak tidak akan membiarkan itu terjadi" balasku dengan cengiran lebar. "Lagipula, say juga bisa melaporkan mereka atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan, ataupun bullying. Bapak tidak akan suka nama sekolah tercinta kita ini tercemar karna hal sepele begini." Tambahku tidak ingin disalahkan terus menerus. Aku sudah cukup bersabar selama ini, mereka sudah keterlaluan dan aku tidak bisa tingfal diam.

Pak Steven terdiam, terlihat sedang bergut dengan pikirannya sendiri. Satu menit keheningan, sebelum kemudian dia melanjutkan, "Baiklah" ucapnya dengan pasti dan aku yakin dia sudah membuat suatu keputusan. Aku berdebar menunggu vonis yang akan dijatuhkan padaku.

"Kamu di skors selama satu minggu, dan besok orang tuamu harus datang kesekolah untuk bertemu dengan bapak" Ucapnya dengan tegas, mengisyaratkan tidak ada ruang diskusi lagi untukku.

"No way!" Hanya itu kata yang keluar dari mulutku secara spontan. Aku menjatuhkan punggungku kesandaran kursi dan menatap pak Steven tak percaya.

Sekilas aku seperti melihat salah satu sudut bibir pak Steven terangkat membentuk sebuah seringaian. Hanya seper sekian detik, sampai aku tidak yakin apa aku melihatnya dengan benar, atau itu hanya khayalanku saja.

"Yes way Kara. You put them in the hospital. What you expect me to do?" Balasnya dengan nada kalem yang entah bagaimana lebih menyeramkan daripada saat dia marah.

"But sir..." aku masih ingin membela diri, ini terasa tidak adil.

"No but. Kamu harusnya bersyukur bapak tidak mengeluarkanmu. Kamu layak mendapatkan hukuman ini. Satu kali lagi kamu membuat masalah, bapak tidak akan segan untuk mengeluarkanmu dari sekolah. Ini peringatan terakhir" ucapnya tegas sambil kemudian berdiri mengakhiri diskusi.

Beautiful CurveWhere stories live. Discover now