Part 14

15.5K 1.1K 14
                                    

"Li."

Ali agak kaget sehingga menjatuhkan beberapa foto wanita yang ia sangat sayangi. Rizky pun mengambilnya dan tersenyum.

"Dia ga hanya cantik fisik, tapi juga cantik hati. Siapapun yang berani ngelukain dia, gue yakin hidupnya ga akan bahagia. Karena selalu dihantui rasa bersalah udah ngelukain perempuan yang udah langka di zaman now."

Ali menyunggingkan senyumnya. Perkataan Rizky benar.

"Jadi ini alasan lo buru-buru masuk hotel dan buka koper kayak kesetanan? Baru kali ini gue liat lo sebegitu sayangnya sama cewek."

"Dia sangat berarti untuk gue. Walaupun kadang agak nyebelin, dia selalu tau caranya bikin gue luluh. Cuma dia, yang bisa bikin hati ini tenang hanya dengan ngeliat senyumnya. Cuma dia, yang bisa bikin bibir ini tersenyum ngeliat tingkah polosnya. Dan cuma dia, anugerah terindah yang pernah gue miliki." Ucap Ali sembari mengetuk-ngetuk dadanya. Satu pertanyaan mengganjal di benak Rizky.

"Terus tante Nova? Lo anggep apaan?"

Ali sedikit menjitak dahi lebar Rizky. "Itu beda lagi urusannya." Bela Ali. Rizky cengengesan sekaligus senang. Cengengesan karena menyadari sifat bodohnya, dan senang karena tawa Ali telah kembali. Meskipun hanya sebentar.

"Eh Li."

"Paan?"

"Homesick nih gue."

Ali memutar bola matanya malas. Ia mengecek dahi Rizky. Tidak panas.

"Ga panas tuh."

"Homesick, blog. Kangen Indo. Miss home gitu."

"Belom ada sehari lo disini udah sok sokan homesick. Ntar juga di Jakarta lo makannya burger, pizza, dan makanan junk food lainnya."

"Kagak, blog."

"Bener kan, nyet?"

"Anjir sok mantep lo."

"Emang gue mantep. Buktinya Prilly yang cueknya minta ampun tergila-gila sama gue."

"Pede gile lo, njing."

"Udah ah sono keluar. Ganggu amat."

"Emang lo ngapain, nyet?"

"Mandangin foto calon bini lah, pe'a."

Rizky pun terkekeh dan tak lama kemudian ia keluar meninggalkan Ali sendiri. Ali kembali memandang foto cantik Prilly. Hanya satu keinginannya saat ini; Prilly kembali.

                                ♡♡♡

"Prill. Sstt."

Prilly menoleh ke belakang. Terlihat Mila seakan memberi isyarat ke Prilly untuk mendekat. 2 jam lalu, Elisa memisahkan tempat dikurungnya mereka. Itu karena Elisa tak ingin mereka merencanakan hal untuk kabur. Sistem keamanan juga Elisa tambah. Beberapa bodyguard ia sewa untuk menjaga pintu depan, samping, belakang, dan ruang dimana Mila dan Prilly dikurung.

"Apa?" Tanya Prilly dengan sedikit berbisik agar tak didengar salah satu bodyguard yang sedang tidur.

"Lo gaada rencana buat kabur, gitu? Pegel gue disini." Ucap Mila sambil menggerak-gerakkan kaki kanannya ke arah depan. Prilly mengendikan bahunya. Semua rencana yang sudah dari awal ia siapkan seolah hilang begitu saja saat ruangan ia dengan Mila terpisah. Meskipun hanya bersekat pintu kayu, sangat sulit rasanya untuk mengunjungi satu sama lain.

"Gue juga mikir gitu, Mil. Ga tahan gue sama kotornya tempat ini. Tapi mau gimana lagi? Elisa ga akan denger keluhan gue."

Mila sedikit sedih mendengar kata yang terucap dari bibir sahabatnya. Ia menyadari, Elisa bertindak seperti ini karena dirinya. Elisa tak benci dengan Prilly. Mila bisa melihat tatapan iba Elisa ketika Prilly kelaparan. Elisa hanya iri, iri karena sahabat lamanya lebih memilih bersahabat dengan Prilly. Dan sahabat lamanya tak lain tak bukan adalah dirinya sendiri.

*flashcback on*

Sore hari itu, terlihat seorang anak berpostur tinggi sedang mengerjakan tugas sekolah di dalam kamarnya. Elisa namanya. Murid SMA Pelita Pusaka ini sangat berprestasi dalam bidang akademis, maupun non akademis. Banyak yang ingin berteman dengannya hanya karena dirinya pintar.

Lain halnya dengan Mila. Sepertinya hanya dia yang bisa bersahabat tulus dengan Elisa tanpa mengharapkan apapun. Seperti saat ini, ia menemani Elisa mengerjakan tugas sekolahnya.

"Mil. Lo ga ngerjain tugas pak Dumbo? Besok terakhir ngumpulin, lho."

Mila menggelengkan kepalanya pertanda ia hanya ingin menemani Elisa saja. Bukan ikut mengerjakan.

"Males gue. Itu guru sukanya maksa mulu. Ga ngerti apa muridnya butuh sedikit penyegaran."

Elisa terkekeh mendengar keluhan Mila. Kadang Elisa merasa kesal pada Mila. Mila terlalu meremehkan guru.

"Tapi kan ini buat tugas akhir kita di SMA, Mil. Kuliah lebih berat tugasnya daripada ini." Tegur Elisa. Namun percuma saja, Mila selalu punya alasan menjawab teguran Elisa.

"Seenggaknya gaada guru kayak pak Dumbo di kampus. Gue yakin."

Elìsa hanya menghembuskan napasnya pelan. Mila memang keras kepala.

"O iya Sa. Lo mau ngampus dimana?" Tanya Mila tiba-tiba.

"Di kampus paling terkenal di Jakarta. Itu tuh kampus yang sering ngewisuda para wirausahawan sukses di Indonesia." Jawab Elisa sambil membayangkan betapa hebatnya ia jika masuk ke kampus itu.

"Yaelah susah banget masuk situ. Harus pake tes segala macem. Ga niat masuk yang lebih ringan?"

Elisa tertawa. Ini kan kampus yang ia pilih. Kenapa malah tawar menawar?

"Makanya belajar yang bener biar kita bisa sama-sama masuk kampus itu. Gue yakin, lo bisa duduk disalah satu bangku kampus itu." Ucap Elisa sambil merangkul pundak Mila. Mila tersenyum.

"Tapi kita masih tetep sahabatan, kan? Gue takut lo nemuin sahabat yang lebih asik dari gue di kampus nanti. Terus lo ninggalin gue deh. Alhasil gue kayak kambing conge plogak plongok ga danta."

"Berapa lama sih kita sahabatan? Hm? Gue ga sebodoh itu, Mil. Meskipun kita sama-sama punya temen baru,kita harus tetep sahabat. Janji?"

"Janji."

*flashback off*

Tanpa disadari, airmata Mila menetes mengingat kenangan yang tak pernah ia lupakan dengan Elisa. Ia sendiri yang meminta Elisa untuk terus bersahabat dengannya, tapi kenapa dia yang justru meninggalkan Elisa. Namun Mila punya alasan dibalik semuanya. Mila punya alasan kenapa lebih memilih bersahabat dengan Prilly dibandingkan dengan Elisa yang sudah dari kecil menjadi tempat meluapkan segala curhatan dalam hidup.

*flashback on*

Mila berlari mencari keberadaan Elisa yang tak kunjung menghampirinya tadi. Tumben Elisa lupa akan janjinya.

Saat ia berlari di koridor dekat kelas Elisa, Mila memicingkan mata ke ujung koridor. Terlihat Elisa sedang mengobrol dengan seseorang. Meskipun hanya siluet, Mila yakin Elisa sedang mengobrol dengan pria yang akhir-akhir ini menjadi penyemangat hidupnya.

"So, kamu mau ga jadi pacar aku?" Tanya pria itu samar-samar namun masih terdengar jelas di telinga Mila. Mila yakin Elisa tak akan menerimanya. Sangat yakin. Elisa tak mungkin mengkhianatinya.

"Mau. Mau banget."

Airmata yang sedari tadi Mila bendung tertumpah sudah. Tak menyangka bahwa seseorang yang selama ini ia anggap sahabat, mampu mengkhianatinya dengan sangat rapi.

Mila yakin, Elisa tau siapa lelaki yang ia suka. Tapi kenapa justru Elisa yang menjadi tambatan hati pria itu? Kenapa juga Elisa terlihat senang ketika pria itu menjadikannya kekasih.

Mila kecewa. Sangat kecewa. Ia tak bisa menahan amarahnya. Ia tak ingin berbicara dengan Elisa lagi. Tak ingin membagikan seluruh rahasianya lagi pada Elisa. Dan yang terpenting, ia tak ingin menjadi SAHABAT terbaik yang Elisa miliki.

*flashback off*

Itulah gaes penyebab Mila gamau sahabatan lagi ama Elisa. So intinya, jangan ada tikung menikung diantara kita *aseeekkk*

Till The End (New Version)Where stories live. Discover now