Epilog

5.7K 229 86
                                    

Washington.

Kenapa gue bisa ada di Washington? Ya karena gue tinggal disini sampai gue lulus. Ya, gue kuliah di Washington, lebih tepatnya d University of Washington. Nggak percaya sih bisa sekolah di salah satu univesitas terbaik di dunia.

Gue tinggal dimana? Gue tinggal di rumah gue sendirilah, Papa bikinin gue rumah yang deket kampus biar nggak ribet. Kenapa nggak ngontrak atau sewa apartemen? Nggak apa, kan lebih bebas kalau di rumah sendiri. Gue juga gak tinggal sendirian, gue tinggal seatap sama Delvin sama Bintar yang satu kampus tapi beda jurusan sama gue. Kok bisa gitu? Ya bisa, Papa udah ngizinin mereka buat tingal di rumah gue sebagai bodyguard, enggak ding, cuma biar gue nggak kesepian aja disini. Mereka juga nggak bakal macem-macem, kalau mereka berani macem-macem, ya gue nggak bakal segan ngusir mereka dari sini, orang ini rumah gue.

Gue mantengin hape dari tadi, tumben banget Keenan nggak ngabarin gue seharian. Ya, kami memang menjalani hungan jarak jauh, bahasa kerennya sih LDR gitu. Gue di Washington, Keenan di Inggris. Dia kuliah di University of Oxford keren kan? Kami sering komunikasi, kadang chat biasa, kadang telpon, kadang juga vidio call. Demi apa gue kangen banget sama dia.

Tok tok tok.

Kepala Delvin muncul dari balik pintu. Senyumnya melebar, membuat wajah tampannya terlihat dua kali lebih tampan, bisa dibilang tampan kuadrat. Agak seneng sih serumah sama Delvin sama Bintar, cuci mata tiap hari soalnya tinggal sama cogan. Delvin mah makin lama makin kelihatan bulenya, keturunan bule mah beda.

Cowok itu menutup pintu lalu duduk di ranjang gue. "Pagi-pagi juga lo udah galau gitu. Kenapa? Keenan nggak ngabarin?" Gue cuma nganggukin kepala aja, males buat ngomong. "Sibuk kali dia, positif thingking aja. Keluar yuk, Bintar udah di luar."

"Ngapain ke luar?"

"Ikut aja."

Delvin narik tangan gue, ya udah sih gue ngikut aja kayak anak kucing di belakangnya. Dan bener, Bintar udah di luar. Gue sih bingung kenapa ada meja terus di atasya ada kua tart gitu. Lah, siapa yang uang tahun? Bintar senyum ke gue terus deketin gue sama Delvin. Gue sih masih cengo gitu, nggak ngerti kenapa tiba-tiba duo kunyuk makin sering senyum, di endorse pasta gigi kali ya.

"Happy Birthday Fiona."

"Ha?" gue masih cengo. Masa sih gue ulang tahun? Lah sekarang tanggal berapa emang?

"Jangan bilang lo lupa kalau sekarang ulang tahun lo?"

"Emang sekarang ulang tahun gue?"

"Bego dipelihara," celetuk Delvin.

"Iya, sekarang ulang tahun lo. Gimana sih yang ulang tahun malah lupa."

Gue buru-buru ngambil IPhone gue yang tadi sempet gue masukin ke saku celana. 19 Agustus. Oh iya, gue baru inget kalau gue ulang tahun. Gue nyengir ke mereka berdua, mereka berdua natap gue datar banget, triplek aja kalah datar. "Hehe, baru inget. Makasih."

"Gitu aja?"

"Maunya gimana?"

"Yang heboh gitu kek."

"UHH MAKASIH DUO KUNYUK KU TERSAYANG. KALIAN MAH BEST TERBAIK DAH, JADI MAKIN SAYANG SAMA KALIAN." Gue teriak-teriak heboh gitu, bodo amat banyak bule yang lewat terus natap gue kayak orang gila ngmong pake bahasa yang nggak mereka ngerti.

Delvin sama Bintar terkekeh. "Noh, gue sama Delvin udah nyapin kado buat lo di deket rumah pohon."

"Kado? Tumben banger lo ngasih gue kado?"

"Nggak mau nih? Ya udah gue ambil."

"EH, JANGAN-JANGAN. GUE MAU KOK, MAKASIH YA."

Gue yang awalnya mau buka kado dari duo kunyuk langsung berhenti di tempat pas IPhone gue bergetar. Vidio call dari Netta. Gue angkat vidio call-nya terus muncul mukanya keluarga yang gue rindukan.

He(A)rt - [SELESAI]Where stories live. Discover now