Dua Puluh Delapan

3.8K 193 51
                                    

Sudah sekitar seminggu hubungan gue dengan Delvin semakin memburuk. Dia selalu berusaha untuk menjauh dari gue. Seperti inikah resiko menyukai sahabat sendiri? Sepertinya begitu dan ini lebih sakit dari friendzone di dalam novel-novel yang pernah gue baca. Kami seperti seseorang yang tidak pernah mengenal satu sama lain.

Lucu.

Padahal sebenarnya kami adalah sepasang sahabat yang selalu bersama, sebelum perasaan sialan ini tumbuh menyelimuti persahabatan ini. Gue tidak tau apakah perasaan gue memang nyata pada Delvin, gue berusaha mengabaikan semua perasaan yang tumbuh untuk lelaki yang notabenya adalah sahabat gue sendiri.

"Udah, Fin, lo nggak usah jadi murung gitu, ah," kata Sheryn menatap gue datar.

"Siapa juga yang murung? Gue biasa aja, lo jangan sok tau dah," kata gue datar. Tapi kalau dipikir-pikir, gue sekarang lebih pendiam dari biasanya. Entahlah karena apa sampai gue menjadi gadis yang pemurung.

"Wajah lo kenapa ditekuk gitu, Fin? Kayak orang susah tau nggak," kata Riska yang tiba-tiba duduk di depan gue.

"Tumben banget lo kesini, Ris. Kalau mau minta bekal gue, gue nggak bawa bekal," kata gue mengabaikan pertanyaan Riska.

"Lo kira gue cewek pemalak apa? Eh, gue sebel noh sama mantan lo."

"Mantan? Siapa?" tanya gue.

"Itu, si Fajar. Dia tau kalau lo suka sama Delvin," jelasnya.

"Lah, terus kenapa lo bisa sebel? Kan harusnya lo seneng," potong gue.

"Dengerin dulu, kebiasaan lo ya motong pembicaraan orang," protes Riska membuat Sheryn terekekeh. Gue menatapnya dan meminta dia melanjutkan perkataan yang tadi sempat gue potong. "Terus Fajar bilang gini, 'Fiona suka sama Delvin kan gara-gara gue putus sama dia, mungkin Fiona cuma mau cari pelampiasan biar bisa move on dari gue' gitu dah pokonya. Tuh anak tetep aja ya, padahal kan jelas-jelas lo udah move on," cerocos Riska.

Gue dan Sheryn menatap Riska geli, antara geli pada ekspresi Riska saat bercerita dan geli dengan ucapan Fajar. Yang benar saja, Fajar terlalu melebih-lebihkan. "Biarin aja, gue nggak mau bahas tentang Fajar. Lo juga tau kalau dia emang lelaki yang suka melebih-lebihkan," kata gue santai.

"Tapi gue greget deh sama si Fajar, pede banget jadi cowok," komentar Sheryn.

"Dan lo harus tau gimana nada bicaranya Fajar saat ngomong itu, nadanya itu penuh keyakinan, sumpah, gue sampai geli dengernya," tambah Riska.

"Biarin dah, kayak nggak tau aja gimana wataknya si Fajar. Gue males bahas Fajar, jadi kalau lo masih mau bahas tuh kunyuk, bahas aja, gue mau pergi," kata gue beranjak dari kursi lalu Sheryn menahan tangan gue.

"Ye, lo sensi banget sama yang namanya Fajar," komentar Sheryn.

"Bodo," kata gue santai dan kembali berlalu dari dua gadis yang masih sibuk menggosip.

****

Bimbingan sudah mulai sejak tiga puluh menit yang lalu. Semua masih berjalan lancar dan kondusif karena golongan David -perusuh kelas- masih belum memunculkan batang hidungnya di kelas ini. Gue duduk di bangku terdepan dengan alasan agar gue tidak mengantuk saat memahami materi pelajaran. Di sebelah kanan gue terdapat Chika yang sedang serius memainkan game 'Slither' dan di kiri gue adalah tembok pembatas setiap kelas.

Gue membalikkan badan saat merasakan sesuatu menjatuhi kursi gue dan hampir membuat gue terjatuh. Mata gue membulat melihat siapa dan apa yang ada di belakang gue. Sebuah kursi yang sudah terbalik dengan pemilik yang baru beranjak dari kursi tersebut adalah jawaban atas semua pertanyaan. Gue terkekeh pelan menyadari tingkah konyolnya yang membuat kursinya terbalik. Siapa lagi kalau bukan Arkan yang bertingkah konyol bin gila?

He(A)rt - [SELESAI]Where stories live. Discover now