Tiga Puluh Satu

3.1K 179 24
                                    

"Makanya kalau nggak berani nggak usah sok sokan gitu kali, Fin," kekeh Grace. Gue hanya menatapnya tajam sambil memeluk tubuh gue sendiri karena malam ini cuacanya lumayan dingin. Kali ini gue duduk di markas untuk menenangkan diri dari godaan Darma. Demi apa gue ingin memakan Darma hidup-hidup karena ulah gilanya yang sangat megejutkan. Untung aja gue nggak punya riwayat penyakit jantung. Kalau misalnya gue punya, mungkin gue udah kembali ke pangkuan-Nya dan akan menghantui Darma seumur hidupnya.

"Diem lo, seneng banget gue menderita." Grace semakin terkekeh dan membuat gue mengerucutkan bibir. "Jahat banget tuh Darma, awas aja sampe ngagetin gue lagi."

"Ngapain lo? Keluar yuk," ajak Sheryn yang disusul dengan Nayla di belakangnya.

"Di luar pada main catur sama bridge, nonton yuk daripada lo diem disini," tambah Nayla dan mendapat anggukan dari gue dan Grace.

Gue dan ketiga teman gue pun keluar dari markas dan menuju ke pos utama dimana ada beberapa panitia yang sedang bermain catur. Gue berdiri di belakang cowok yang gue yakini bukan Darma, menikmati permainan catur yang sedang dimainkan dari balik punggung cowok ini.

"Mana Vernon?" bisik gue pada Sheryn. Vernon adalah nama samaran Delvin karena nggak mungkin gue frontal nyebut namanya di depan banyak anak. Kenapa Vernon? Karena mereka hampir sama, wkwk. Beginilah fangirl, temen sendiri di panggil pake nama bias.

"Nggak tau," jawab Sheryn singkat.

Gue menoleh ke arah Grace, mengulangi pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang baru saja gue lontarkan pada Sheryn. "Di depan lo, itu Vernon," jawab Grace.

"Masa sih? Ini beneran Vernon?" tanya gue yang masih tidak percaya dengan perkataan Grace.

"Di bilangin nggak percaya, ya udah," kata Grace kembali menikmati permainan catur di hadapanya.

Gue hanya mengedikkan bahu, tidak peduli dengan perkataan Grace yang hanya gue anggap lelucon malam. Cowok di depan gue melepaskan hoodie jaketnya dan hanya terlihat kepalanya yang tertutup dengan snapback berwarna hitam putih. Alis gue menyatu saat memerhatikan postur cowok yang ada di hadapan gue. persis dengan postur tubuh Delvin. Dengan ragu gue memajukan kepala lalu memiringkan kepala, menghadapnya untuk melihat apakah dia Delvin atau bukan.

Mata gue membulat ketika mengetahui ini benar-benar Delvin. Tidak salah lagi, ini Delvin. Dengan cepat gue menarik kembali kepala gue sebelum Delvin menyadari apa yang gue lakukan. Mengatur napas yang mulai tidak beraturan karena efek malu yang mulai membesar. Tangan gue segera memasang masker yang sedari tadi gue pegang lalu pergi meninggalkan mereka-pemain catur dan ketiga teman gue-untuk kembali ke markas karena gue sudah benar-benar lelah dan alibi untuk melarikan diri dari rasa malu yang berawal dari kelakuan gue sendiri.

****

Pagi ini semua terlihat lebih segar setelah semua peserta dan juga panitia melakukan senam pagi dan juga sarapan. Jadwal untuk hari ini adalah jelajah medan dimana setiap panitia menyebar di beberapa pos yang sudah disediakan. Gue mengalungkan kamera di leher gue lalu membimbing beberapa peserta, tentu saja ditemani oleh Grace.

Setelah melewati dua pos, gue memutuskan untuk pergi menuju pos selanjutnya dengan Grace tanpa menunggu peserta karena kami juga harus membantu panitia yang lain.

"Fin," panggil Grace.

"Apaan?"

"Lo tau jalan ke pos selanjutnya?"

"Kagak, lo tau kan?" Grace berhenti di tempatnya yang otomatis membuat gue juga ikut menghentikan langkah. "Kenapa lo? Sawan?"

"Ngaco. Bukan gitu, gue juga nggak tau jalannya," ujar Grace dengan ekspresi datarnya.

He(A)rt - [SELESAI]Where stories live. Discover now