Lima Puluh Tiga

2.1K 172 24
                                    

Pikiran gue masih tidak bisa berhenti memikirkan Arkan yang sampai saat ini tidak membalas chat gue. Apa yang salah sampai nggak bales chat yang gue kirim?

Gue bangkit dari ranjang, mengambil kaos berwarna soft blue dan juga jeans dari lemari. Dengan segera gue mengganti baju gue dan tak lupa memasukkan smartphone ke dalam tas kecil. Tangan gue meraih pita dan menguncir rambut gue menjadi pony tail dengan poni yang selalu setia di tempatnya.

"Pa, Ma, Zea keluar dulu sebentar," pamit gue saat menemukan kedua orang tua gue yang sedang asik menikmati teh.

"Mau kemana, Zea? Udah malem, di luar hujan." Terlihat jelas bahwa wajah Mama cemas.

"Zea mau ke ruma Arkan, Ma. Arkan tadi nggak masuk sekolah, Zea takut aja Arkan kenapa-napa," jawab gue to the point.

"Kamu sudah hubungi dia?"

Gue menggeleng. "Arkan nggak bales chat dari Zea, makanya Zea takut. Ya udah ya, Zea berangkat dulu ke rumahnya Arkan. Zea cuma sebentar kok, sebelum jam delapan, Zea pasti udah di rumah," janji gue.

"Mau Papa anter?" tawar Papa.

"Enggak, Zea naik taksi aja." Gue memasang flat shoes gue dengan cepat. "Zea berangkat ya, Assalamualaikum."

****

Gue menutup pintu taksi saat sudah sampai di depan rumah Arkan. Sial, gue lupa bawa payung dari rumah sedangkan hujan semakin deras. Gue melangkahkan kaki selebar mungkin, antara ingin cepat melihat keadaan Arkan dan juga ingin cepat berteduh sebelum baju gue basah.

"Ar..."

Suara gue tercekat saat melihat pemandangan di depan gue. Arkan duduk di sofa ruang tamunya bersama gadis yang kali ini menyuapinya. Mereka terlihat bahagia, terlihat dari cara tersenyum yang terpancar dari bibir mereka berdua.

Arkan sesekali menggoda Seilla yang ada di sebelahnya, membuat gadis itu kesal sampai memukuli pundaknya. Tawa mereka meledak saat Arkan baru saja mengeluarkan cerita yang mengundang tawa. Mereka terlihat seperti pasangan yang bahagia, pasangan yang tidak akan pernah terpisah.

Gue mundur selangkah, tidak ngin menganggu kebahagiaan mereka, tidak ingin membuat hati gue semakin retak bahkan patah. Bulir transparan mulai menutupi pandangan gue, meminta untuk terjun saat itu juga. Segera gue berlari, menembus hujan yang semakin deras dengan petir dan guntur yang juga berdatangan. Saat ini gue tidak tau mau kemana, gue berlari tanpa arah dengan air mata yang terus menetes dan bersamaan dengan air hujan sehingga tidak ada orang yang tau kalau sat ini sedang menangis.

Tangan gue merogoh tas gue yang basah, mencari keberadaan benda pipih berwarna putih untuk meminta agar Papa menjemput gue saat ini. Sialnya, benda itu tidak bisa membantu, dia mati begitu saja. Gue menepuk jidat, lupa tidak men-charger sebelum berangkat ke rumah Arkan. Tidak ada taksi, tidak ada orang yang bisa membantu gue saat ini.

Gue terduduk di jalan, menyerah dengan keadaan. Gue mendongak, melihat rintikan hujan yang semakin deras seakan ikut bersedih dengan apa yang gue rasakan saat ini. Tangis gue semakin pecah tertutup hujan.

"Kenapa? Dari ribuan orang di dunia, kenapa harus gue yang merasakaan ini semua?" Petir semakin berdatangan, membuat gue seakanaakan menjadi tokoh utama dalam sebuah drama.

Gue menumpahkan segala kesedihan gue, membiarkan air hujan menutupi air mata gue yang berjatuhan. Jujur saja, gue udah nggak kuat dengan semua ini. Gue rapuh, gue patah, gue hancur.

Gue mendongak saat air hujan tidak mengguyur badan gue lagi, seperti ada sesuatu yang menghalanginya. Benar saja, terdapat sebuah payung di atas kepala gue. Manik matanya menatap gue dalam. Cowok itu memberikan tangannya ke arah gue, memberi bantuan untuk kembali berdiri. Gue menerimanya dan berdiri di sebelahnya.

"K... Keen," panggil gue lirih.

"Lo ngapain hujan-hujanan gini?" tanyanya dingin. Gue bergeming. Kepala gue mulai tarasa sakit dan membuat gue berpegangan pada Keenan untuk menjaga kesimbangan. "Lo nggak apa? Lo ngapain hujan-hujanan gitu sih?"

"Ke.... Keen." Baru saja gue mau menjawab satu persatu pertanyaan Keenan, penglihatan memburam dan berhasil membuat gue semakin kehilangan keseimbangan. Semuanya menjadi gelap dalam hitungan detik dan membuat badan gue ambruk begitu saja.

****

Kepala gue terasa sakit saat mencoba membuka mata. Gue mengerjapkan mata, menyesuaikan cahaya yang masuk. Pandangan gue buram dan pelahan semakin jelas. Mata gue menatap langit langit yang tidak asing, seperti kamar gue. Gue menoleh dan menemukan sosok Keenan yang duduk di sebelah gue.

"Kok... lo disini?" tanya gue langsung.

"Lo nggak inget barusan lo ngapain?"

Gue menggeleng. "Gue cuma inget kalau gue pusing, itu aja," jawab gue jujur.

Keenan mendengus lalu mengambil kain yang ada di dahi gue. "Lo demam," katanya tanpa menatap gue. "Barusan hujan-hujanan langsung demam gini, anjir."

Gue mengernyit, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi sampai Keenan ada di rumah gue. Otak gue bekerja keras untuk mengingat semuanya. "Gue inget, lo yang bantuin gue kan?" tanya gue saat ingatan itu kembali, ingatan yang menyakitkan, sangat.

"Kebetulan," jawabnya dingin.

"Kenapa sih setiap gue susah pasti lo dateng buat bantuin gue?" tanya gue polos.

Keenan bergeming, menatap gue datar. "Ngapain lo keluar malem-malem pas hujan deras gitu? Kurang kerjaan?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Gu... Gue... gue ada urusan, makanya gue nekat keluar. Sialnya gue lupa bawa payung," jelas gue. "Lo kok bisa disana? Jangan-jangan... jangan-jangan lo ngikutin gue ya?"

Keenan tertawa saat mendengar ucapan gue. "Ngapain juga gue ngikutin lo, kurang kerjaan banget," jawabnya.

"Kali aja kan," kata gue mengedikkan bahu.

"Lo ada urursan apaan? Kenapa lo sampai nekat hujan-hujanan gitu? Gue juga tau kalau lo nyembunyiin air mata lo dibalik derasnya hujan."

Gue menatap tepat di matanya, membuatnya sedikit bergidik. "Jangan sok tau, gue nggak nyembunyiin air mata," kata gue.

"Bohong, gue tau semuanya. Hidup lo merah, mata lo sembab, bahu lo bergetar, semuanya bisa jadi bukti kalau lo lagi nangis," katanya telak dan berhasil membuat gue bungkam. "Gue pulang dulu, jaga diri baik-baik. Kalau belum sehat, besok mending jangan ke sekolah," pamitnya lalu beranjak dari ranjang gue.

Tangan gue terangkat, memegang lengannya dan membuatnya berhenti melangkah. Keenan memutar kepalanya, menatap gue dingin, seperti biasanya. "Makasih, buat semuanya," ucap gue. Keenan mengangguk setelah sekian detik terdiam.

****

Sheryn mengantar gue ke ruang kesehatan saat pelajaran Ekonomi berlangsung. Sebenernya gue nggak mau ke ruang kesehatan karena disana gue pasti sendirian. Sheryn mah bersyukur banget bisa keluar dari pelajaran yang tidak ia sukai itu apalagi gurunya killer.

"Makasih ya lo udah sakit jadi gue nggak perlu repot-repot nyari alasan keluar kelas," ucapnya nyengir.

"Dasar lo, mencari kesempatan dala kesempitan," cibir gue.

"Enggak anjir, gue kan memanfaatkan apa yang ada," katanya masih nyengir dan hanya gue balas dengan tatapan datar.

Gue duduk di tepi brankar, menatap Sheryn yang duduk di salah satu kursi. "Eh, gue belum cerita sama lo," kata gue.

"Cerita apaan?"

Gue terdiam beberapa detik sebelum menceritakan semuanya pada Sheryn. "Tentang Keenan," jawab gue.

"Mulai sekarang gue akan berhenti mengharapkan lo, memimpikan seuatu yang indah bersama lo, karena gue tau kalau bukan gue yang ada di hati lo."

Hai gue comeback h3h3:v Gue lagi kesel, masa gue nggak ketemu doi sama sekali, kan tai-_- Tau ah kesel gue, susah banget buat ketemu anjir-_- Lah kenapa gue jadi curhat gini, wkwk:v Tadi kelas gue photoshoot loh, berasa jadi artis, h3h3:v Semoga tidak mengecewakan, semoga suka. Males bacot karena tidak mood untuk berbacot ria. Jangan lupa vote sama comment, see you~

He(A)rt - [SELESAI]Where stories live. Discover now