Empat Puluh Lima

2.4K 155 30
                                    

Mata gue membulat saat menyadari Arkan menatap gue aneh seperti orang dungu. "A... Anu..."

"Lo nggak apa?" tanya Arkan yang masih menatap gue aneh.

Dengan cepat gue melepas lambang 'love' yang terbentuk lalu merentangkan tangan gue. "Eng... Enggak, gue... gue nggak apa. Tadi... tadi gue... anu... Tadi gue cuma merenggangkan otot, gitu. Iya, badan gue... badn gue pegel-pegel gitu, kecapekan, haha" jelas gue gugup.

"Tapi..."

"Kan... Lo.. lo mau pulang kan ya? Anu... hati-hati... hati-hati di jalan. Gue... gue duluan, dah." Secepat kilat gue meninggalkan kelas yang menyisakan Arkan di dalamnya. Sudah bisa di tebak kalau Arkan masih melihat gue aneh. Bodo, gue nggak peduli. Malu banget anjir, pipi gue sampe panas gitu.

Dubrak.

"Eh, so.. sorry, nggak sengaja," ucap gue. mungkin saking malunya sampai gue nggak bisa jalan dengan benar. Gue mendongak untuk melihat siapa yang gue tabrak. Keenan bergeming menatap gue datar. Tanpa berbicara sedikit pun. "Keen, sorry ya. Gue tadi beneran nggak sengaja kok, sumpah."

"Nggak apa."

Gitu aja? Ya iyalah, mau mengharap apa? Berharap jawaban Keenan panjang penuh basa-basi? Jangan lupa kalau Keenan udah dingin dari lahir.

"Lo beneran nggak apa kan? Sorry ya, gue beneran nggak sengaja," ucap gue nggak enak hati.

"Keen, kenapa?" tanya Lana yang sudah ada di belakangnya. Tidak lama kemudian, muncul Eri dan anggota yang lain. "Keenan kenapa, Fin?"

"Tadi..."

"Tadi gue nabrak Fiona," kata Keenan membuat gue bungkam. Apa maksudnya? Bukannya gue yang menabraknya dan membuat Keenan sedikit kehilangan keseimbangan? "Sorry, gue nggak sengaja."

Gue bergeming dalam kebingungan. Dahi gue berkerut. Sedetik kemudian, Keenan berlalu, diikuti oleh teman-teman segengnya. Eri mendekati gue. "Kenapa sih?"

"Keenan bohong."

"Maksudnya?"

"Gue yang nabrak Keenan, bukan Keenan yang nabrak gue," jelas gue. "Dia emang suka nyalahin diri sendiri ya?"

"Enggak, Keenan bukan cowok kayak gitu. Keenan emang dingin, dingin kuadrat, tapi kalau ada orang yang menganggunya, dia nggak akan segan buat marah tanpa melihat lo cewek atau cowok," jelas Eri. "Tapi, lo nggak apa kan?" Gue mengangguk. "Lo nanti ada waktu?"

"Kenapa?" tanya gue.

"Temenin gue beli buku. Gue jemput lo jam empat," katanya lalu berlalu untuk menjemput teman-temannya.

****

Saat ini gue dan Eri sudah ada di toko buku. Katanya sih, dia mau beli buku bahasa sekalian beli komik baru. Gue sih mau-mau aja nemenin, bosen anjir di rumah terus.

"Gimana hubungan lo sama Delvin?" tanya Eri tiba-tiba.

"Ya gitu, gue sama Delvin masih kayak nggak kenal," jawab gue tanpa semangat.

"Lo nggak pengen sahabatan lagi sama Delvin?" tanyanya lagi.

"Siapa coba yang nggak mau persahabatnnya kembali utuh? Jelaslah, gue pengen, pengen banget. Boro-boro sahabatan lagi, Delvin aja nggak sudi lihat gue." Gue menghembuskan napas kasar saat mengingat kembali kejadian menyakitkan bersama Delvin.

"Gue pengen lo sama Delvin baikan lagi. Bukan apa, gue cuma pengen lo jaga Delvin kayak dulu," kata Eri. "Akhir-akhir ini kayaknya Delvin banyak masalah," tambahnya.

"Masalah? Masalah apaan?" tanya gue.

"Gue nggak tanya, nggak enak aja mau tanya. Itu privasinya Delvin, gue nggak ada hak buat ikut campur," kata Eri sembari membolak-balikkan buku di tangannya. "Siapa tau aja kalau lo baikan, lo bisa bantu dia nyelesaiin masalahnya."

"Gue ke bagian novel dulu ya, mau beli novel," kata gue mengganti topik pembicaraan.

"Mau gue temenin?"

"Enggak, gue bisa sendiri," tolak gue.

"Nggak apa, lo udah nemenin gue mondar-mandir disini, sekarang waktunya gue nemenin lo. Gue nggak nerima penolakan," kata Eri membuat gue memasang wajah datar.

"Kenapa lo tiba-tiba ajak gue kesini? Kan lo bisa ajak Sheryn," goda gue. Eri memang pernah jatuh hati pada Sheryn tapi Sheryn hanya menganggapnya sebagai teman biasa, tidak ada yang istimewa.

"Apaan sih lo," kata Erwin. "Gue sebernya mau ajak si Keenan, tapi gue sadar diri."

"Sadar diri? Kenapa?" tanya gue.

"Gue sadar diri kalau misalnya gue nekat ajak tuh anak, pasti langsung dapet penolakan tanpa basa-basi. Bukan cuma itu, gue pasti di ledek habis-habisan gegara ngajak dia ke toko buku," cerocos Eri membuat gue tertawa. "Lo masih demen sama Arkan?"

Gue mengangguk kecil. "Gue nggak bisa ngelupain Arkan, susah banget."

"Lo nggak berusaha sih."

"Udah, anjir. Udah empat kali gue berusaha, tapi ujungnya apa? Tetep aja gue masih suka sama dia. Makanya gue udah putusin  kalau gue nggak akan pernah usaha lagi buat ngehapus Arkan dari hati gue."

"Tapi kalau lo nggak mau ngehapus Arkan, hati lo pasti terus-terusan sakit. Lo nggak kasihan sama hati lo? Cinta bertepuk sebelah tangan itu nggak sebercanda itu, Fiona."

"Gue tau, Eri, gue tau. Tapi gimana lagi? Kalau hati gue udah menetap di Arkan, gue nggak bisa nolak itu, hati gue nggak menerima penolakan. Melupakan juga nggak sebercanda itu." Gue menghembuskan napas kasar untuk kali keduanya. "Menurut gue, lebih menyakitkan melupakan daripada bertahan."

"Lo nggak ada niatan lagi buat move on?" tanya Eri belum puas.

Gue menggeleng. "Meskipun mulut gue bilang kalau gue akan menghapus Arkan dari hati gue, itu bohong, itu kebohongan besar yang gue katakan. Kenapa? Karena hati gue selalu merindukan Arkan, hati gue menolak untuk menghapus Arkan dari sana."

"Udah, jangan di bahas. Gue nggak mau lihat lo galau di deket gue, jadi ngerasa bersalah," kata Eri.

"Iya, lo sih, bikin suasana melow gini, anjir. Drama banget," kata gue menjitak kepala Eri.

"Eh, gue mau nanya lagi, boleh?"

"Lo apaan sih? Kenapa banyak banget pertanyaan buat gue? Acara apaan? Interview?" protes gue mengingat banyak pertanyaan yang sudah ditanyakan Eri.

"Gue kan udah lama nggak ngobrol sama lo, makanya sekalinya ngobrol langsung gue tanyain apa yang selama ini belum gue tau," jelas Eri.

"Boleh ya? Sekali aja kok, beneran." Gue mengangguk pelan pada Erwin.

"Lo masih marah sama Fajar?" tanyanya hati-hati.

"Fajar?" ulang gue dan mendapat anggukan dari Eri. "Enggak, biasa aja."

"Bohong, lo masih marah kan? Kenapa lo marah? Salah dia apaan sih?"

"Harus banget gue jawab ya? Enggak ah, males gue ngomongin Fajar. Jangan sekali-kali lo sebut atau nanya tentang Fajar, itu bikin mood gue hancur," kata gue terus terang. Siapa yang nggak sebel kalau inget kelakukan Fajar? Baru putus, langsung ngegebet temen sendiri.

"Maaf, gue nggak ada maksud gitu. Gue cuma mau bilangin lo aja, Fajar itu masih perhatian sama lo. Lo inget pas lo nggak ada temen pulang? Fajar nyuruh gue buat anterin lo pulang, dia yang maksa-maksa gue. Lo inget pas hujan terus lo nggak bawa payung? Fajar yang ngasih payungnya lewat gue buat lo, dia bahkan berkorban buat lo. Jadi gue mohon, lo maafin Fajar ya. Mungkin aja dia khilaf gitu," jelas Eri panjang lebar.

"Gue udah nemuin novelnya. Langsung ke kasir ya, gue pengen cepet pulang." Gue berjalan mendahului Eri yang masih berdiam di tempat.

"Lo adalah patah hati terhebat yang pernah gue rasakan."

Ecie publish dua chapter dalam sehari, wkwk:v Kenapa? Gapapa sih, mumpung gue ada mood makanya nge-update dua sekaligus:v Maaf atas ke-typo-annya:v Jangan lupa vote sama comment, see you~

He(A)rt - [SELESAI]Where stories live. Discover now