Empat Belas

4.3K 243 40
                                    

"Fix ya, Revan ketua kelas, Arkan wakil ketua kelas. Sekretarisnya Dina sama Laura. Bendaharanya gue sama Okta," seru Fitri setelah kami melakukan voting.

"Tulisan gue jelek malah disuruh jadi sekretaris," oceh Laura. "Lo sih, Fin. Ngapain lo ngajuin gue? Gue males tau jadi sekretaris, kerjaannya nulis-nulis nggak jelas," tambahnya kesal.

Gue yang mendengarkan ocehan Laura hanya terkekeh. "Tadi reflek nyebut nama lo, Ra. Sorry deh, sorry," ucap gue. "Lagian lo cocok jadi sekretaris. Seenggaknya kan tulisan lo lebih bagus dari tulisan gue," tambah gue sedikit merendah.

Laura melotot dan memberikan gue tatapan datar sedatar-datarnya. Tapi percayalah, meskipun ekspresinya datar dia masih terlihat cantik. Gue menatapnya polos dan pecahlah tawa gue yang udah gue tahan sejak tadi.

"Jangan ramai elah," seru Riska. Gue meliriknya sekilas, tidak berniat untuk meladeninya karena itu sangat membuang waktu. "Lo juga, jangan lirik-lirik," tambahnya.

"Apaan sih, dari tadi lo komentar terus. Capek gue dengernya," kata gue blak-blakan. Tapi serius, gue capek dengerin komentarnya Riska. Nggak bisa diem ya tuh anak, dikit-dikit komentar.

"Serah gue kan mau ngapain."

"Udah, apaan sih. Fin, jangan di dengerin deh, dari pada lo darah tinggi ngurusin orang kek gitu," kata Laura lalu menoleh ke arah Riska. "Lo juga, jangan bikin ulah kalau nggak mau debat. Lo yang nyuruh kita diem malah lo yang mancing," tambahnya menatap tajam Riska. Itulah Laura, cewek cantik yang tidak bisa diam dan berani. Dia tipe cewek yang kata-katanya pedas dan cablak tapi dia bisa membedakan mana yang benar dan mana uang salah. Bukannya gue takut, tapi gue orang yang nggak terlalu suka memperbesar masalah.

Riska membisu. Kata-kata Laura berhasil menutup mulutnya yang sedari tadi komentar. Laura kembali menghadap depan dan mengajak gue bercanda dengan Fani.

****

"Sama Bu Yuni disuruh ke perpustakaan, bawa bukunya juga," perintah Revan yang sudah menjabat sebagai ketua kelas XI-3.

"Entar lagi aja, gue masih pewe main poker," kata Delvin.

"Lo main poker aja terus. Udah, cepetan ke perpus, nanti Bu Yuni marah," kata Revan mendorong-dorong Delvin dari bangkunya.

"Iya, duh sabar kali, Van. Lo kesambet apa sih kok bawel banget? Lo kesana dulu aja, gue nyusul kok, beneran." Delvin berusaha meyakinkan Revan dan akhirnya Revan mengalah, meninggalkan mereka yang masih bermain poker.

"Jangan main poker terus, Vin. Ntar, kalau Pak Robi lihat, habis nyawa lo," kata gue memperingatkan.

"Iya, iya. Gue rapiin dulu kartunya. Lo kesana dulu aja, ntar gue nyusul."

****

Bu Yuni mulai mengeluarkan kalimat-kalimat membosankan di telinga gue. Kata-katanya berbelit-belit dan sangat meresahkan. Gue menatap jendela sambil bertopang dagu, mencoba menghilangkan rasa bosan yang sudah menyeluruh. Gue mendengus, berdoa semoga jam pelajaran Bu Yuni segera berakhir. Kalimat yang keluar dari mulut beliau sama sekali tidak gue hiraukan, seperti angin yang berlalu-lalang tanpa mengandung sepatah arti pun.

"Saya ada urusan di luar sekolah, kalian kerjakan tugas yang baru saja saya sampaikan. Saya tidak mau ada yang tidak mengerjakan. Tugas dikumpulkan pertemuan depan," kata Bu Yuni mengakhiri penjelasan yang panjang kali lebar sama dengan luas. "Siapa ketua kelas dan wakil ketua kelasnya?" tanya Bu Yuni. Revan dan Arkan mengangkat tangan kanannya, memberi kode bahwa mereka adalah sepasang pemimpin kelas XI-3. "Saya serahkan teman-teman kalian pada kalian berdua, jangan sampai membuat kagaduhan," tambah beliau.

He(A)rt - [SELESAI]Where stories live. Discover now