Empat Puluh Delapan

2.2K 157 66
                                    

Gue menunduk sedalam-dalamnya, menyembunyikan mata gue yang sudah tidak kuat membendung air mata. Delvin memutar kepalanya, menatap ke arah gue. Gue semakin menunduk agar ia tidak bisa melihat air mata kelemahan yang terjun di pipi gue.

Delvin beranjak dari posisi duduknya, menarik gue dalam pelukannya, pelukan yang selama ini gue rindukan. Air mata gue semakin tumpah, membuat baju Delvin basah. Delvin mengelus rambut gue lembut, mencium puncak kepala gue. Kehangatan mulai mengalir dari tangannya.

"Hei, jangan nangis di depan gue, gue nggak bisa lihat lo nangis," katanya masih mengelus rambut gue. Dia menjauhkan kepalanya, mengusap air mata yang menetes di pipi gue dengan ibu jarinya. "Jangan nangis lagi."

"Gu... Gue minta maaf," ucap gue masih menangis.

"Jangan minta maaf lagi, lo udah gue maafin. Gue minta maaf karena egois, menjauh dari lo karena hal sepele. Maaf karena gue nggak bisa jadi sahabat yang baik buat lo. Gue ngelakuin itu agar lo lebih dewasa, gue punya alasan untuk itu."

"Gue udah maafin lo kok, sebelum lo minta maaf."

"Gue minta tolong, jangan pernah sakitin hati lo sendiri, jangan selalu ngorbanin diri sendiri untuk orang lain. Manusia memang bergantung pada orang lain, tapi ada waktunya kita peduli pada diri sendiri, ada waktunya kita tidak mengorbankan diri sendiri untuk orang lain. Gue nggak mau ngelihat lo terus-terusan ngorbanin diri sendiri, ngelihat lo terus-terusan nyakitin hati sendiri." Gue hanya bergeming, tidak tau harus mengatakan apa.

"Janji sama gue, lo nggak akan nyakitin hati lo sendiri lagi, lo nggak akan ngorbanin diri lo sendiri lagi, ya?" Gue masih bergeming dan beberapa sekon kemudian mengangguk. Delvin menempelkan kedua ibu jarinya di kedua sudut bibir gue lalu menariknya, memaksa gue untuk tersenyum. "Senyum, jangan nangis terus."

Gue pun tersenyum dan menarik Delvin dalam pelukan. "Makasih lo udah maafin gue," ucap gue.

"Iya, makasih juga lo udah maafin gue." Lagi-lagi Delvin mengelus lembut rambut gue. "Dengerin gue, gue akan selalu ada di sisi lo, gue akan selalu ada buat lo saat lo senang maupun sedih, gue akan selalu siap kalau lo butuh pertolongan. Dan, gue akan berusaha menjadi sahabat yang baik buat cewek yang baik kayak lo."

Senyum terharu tercetak di bibir gue. Gue pun melepaskan pelukan gue lalu duduk di ranjang Delvin. "Makan gih, lo belum makan dari tadi."

"Kata siapa?"

"Kata Tante Elsa."

"Sok tau."

"Ih, lo katanya nggak mau makan. Makan gih, gue nggak nerima penolakan."

"Suapin," pinta Delvin manja.

"Ih, enggak, makan aja sendiri," protes gue. "Delvin udah gede, makan sendiri."

"Iya deh, iya. Gue makan dulu ya, nyonya," kata Delvin membuat gue tersenyum lebar. Delvin meraih roti bakarnya dan mulai menikmatinya. "Siapa yang bikin? Pasti bukan lo ya."

"Ngejek nih ceritanya," kata gue. "Emang bukan sih, itu Tante Elsa yang bikin, dibantu Disa juga."

"Disa?"

Gue mengangguk pasti. "Disa kangen banget sama lo, tadi dia titip pesan supaya lo nggak murung dan nemenin dia main lagi kayak dulu."

"Enggak ah, males gue."

"Jahat banget, sama adek sendiri juga."

"Banyak banget hal yang mau gue ceritain ke elo," kata Delvin menggant topik tentang Disa. Gue menatapnya penasaran. "Gue putus sama Beby."

He(A)rt - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang