ASPIRIN

32.3K 1.3K 424
                                    


Kamarnya luar biasa berantakan.

Separuh bagian selimut yang lembut dan tebal berwarna putih tulang itu terkulai ke lantai bersama bantal yang sudah berjatuhan. Nakas samping kasur terbuka lebar-lebar beserta isinya yang bermacam-macam juga turut keluar dari dalam sana. Buku-buku di rak tandas seketika karena memang sengaja dijatuhkan sampai terinjak kaki. Lemari besar berbahan kayu mahoni itu dibuka lebar-lebar pintu dan selorokannya. Dan hal yang paling berantakan di kamar ini tentu saja lantainya. Semua barang tergeletak berserakan di mana-mana, dan pemilik kamar pun tak kalah berantakannya.

"Di mana, ya?"

Wajahnya yang lusuh karena keringat semakin menambah kesan berantakan. Ada raut cemas, takut, sakit, lelah, dan kesal berkumpul jadi satu di wajah manisnya. Rambutnya lepek dan belum keramas. Padahal tiga puluh menit lagi ia harus menepati janji untuk menemani kekasihnya main ke pasar malam.

Pemuda manis itu kini berhenti. Ia menjenggut rambutnya pelan, mencoba menghilangkan kepanikan yang sungguh menyergapnya tanpa ampun. Alisnya mengernyit dalam, dengan bibir yang digigiti—kebiasaan buruknya yang tidak bisa hilang sampai sekarang. Seketika ia merendahkan tubuh, lalu berjongkok dengan menutup wajah pada kedua telapak tangannya yang bergetar. Ia benar-benar ketakutan dan kesal di satu sisi. Ya Tuhan.

Hatinya bergemuruh. Ia kesal, pada dirinya sendiri, sebab kebiasaan pikunnya mulai kambuh lagi. Ia tak habis pikir, astaga. Bisa-bisanya melupakan dimana tepatnya ia meletakkan barang berharganya, dan berakhir membongkar seluruh isi kamar yang ujung-ujungnya membuat dirinya kelelahan tak berarti. Belum lagi ia harus mengembalikan kekacauan yang ada agar kamarnya dapat seperti sedia kala. Dan hell, itu pasti lebih melelahkan dari apapun.

Satu rengekan frustasi keluar dari bibir tipisnya yang bergetar. Ia menyesal karena tak mendengarkan nasihat kakaknya tadi. Padahal kakaknya itu sudah membelikan barang yang baru untuknya, bahkan harus rela jauh-jauh ke luar negeri hanya demi barang itu untuk dirinya.

Seketika ia merasa sudah jadi adik yang durhaka.

"Ya Tuhan...," sebutnya dengan suara bergetar. Hampir saja ia menangis kalau ponselnya tak bergetar dengan nada panggil yang sangat ia kenal. Dengan putus asa, ia rogoh ponsel pintar di saku celana gelombornya, lalu diketuknya tombol hijau segera.

"Halo,"

"Maaf lupa memberitahumu. Aku tadi taruh barangmu di kamar mandi, Tae," ucap seseorang di seberang sana dengan suara gemerisik yang sedikit menginterupsi. Taehyung menjauhkan ponselnya dari telinga untuk melihat nama pemanggil yang terpampang di ponselnya. "Jangan sampai kau meluluh-lantakkan kamarmu lagi karena lupa dengan ucapanku." Lanjut suara itu dengan nada menyelidik.

Seketika Taehyung mendudukkan tubuhnya yang lelah luar biasa di antara barang-barang kamarnya yang berantakan. Ia menatap putus asa pada sekelilingnya yang seperti kapal pecah. Mendesah lelah, ia menjawab dengan nada menggemaskan dan sesenggukan antara ingin menangis dan tidak.

"Seokjin-Hyung tidak bilang kalau taruh di sana...," Ia menjerit kekanakan lantas membaringkan tubuh di atas tumpukan novel-novel tebal dan beberapa kotak jam tangan koleksinya. Dengan perasaan campur aduk ia menjerit kesal lagi, dan berakhir menangis juga pada akhirnya. "Tidak mau tahu, pokoknya Hyung harus panggil Mama ke rumah, untukku, suka tidak suka! Aku lelah Hyung, Mama pasti mau bantu." Katanya dengan nada bergetar. Ia senang karena barangnya sudah ketemu, tapi ia juga kesal karena Hyungnya itu lupa memberitahu Taehyung, dan kekesalan yang lain karena kamarnya sekarang jadi berantakan.

"Cih, manja sekali," kata Seokjin di seberang sana dengan dengusan menghina. Tapi ada penekanan sarat rasa sayang di tiap katanya. "Jangan terlalu manja, Tae. Nanti Jungkook berpaling pada yang lebih dewasa."

ANGSTWhere stories live. Discover now