Sepatu

2.2K 142 10
                                    

[Sepatu]


Aku menapak kaki di atas aspal tanpa alas yang berarti. Tak peduli panas menyengat maupun kasarnya jalanan menggores telapak, kaki tetap melangkah tanpa keraguan sedikitpun menuju arah yang menjadi keyakinanku: dirimu.


Aku tidak datang dengan tangan kosong. Ada sepasang sepatu dalam masing-masing genggaman tanganku. Itu adalah sepatuku. Sepatu kesayangan yang selalu menemani kemanapun aku pergi. Baik panas terik matahari, maupun hujan deras yang datang dan pergi.


Lalu, langkahku berhenti. Tepat di hadapanmu yang memandangku penuh tanda-tanya dan menghakimi. Padahal aku belum berucap satu patah katapun padamu, namun kau sudah menyimpulkan segalanya dengan berbagai spekulasi. Aku tersenyum sambil mengira-ngira, mungkin nantinya kau akan pahami.


Kemudian aku mengulurkan salah satunya padamu, dengan senyuman, menawarkan apakah kau mau mengenakannya untukku? Tapi yang kudapat kau hanya diam dan melangkah mundur, teratur. Raut wajahmu nampak semakin kebingungan, lalu aku meletakkannya tepat di dekat kakimu yang tak beralas apa-apa sama sepertiku.


Aku masih menunggu, sambil mengenakan sepatu yang tersisa pada kaki, mengikat talinya se-erat mungkin, lalu bangkit dan mendapati kau melangkah mundur secara bertahap, sebelum menghilang ditelan gelap.


Aku menatap sendu pada sepatuku yang enggan kau kenakan.


Oh, benar ternyata. Kau memang tak inginkan melangkah bersamaku untuk ke depan.


Karena sepatu itu kuberikan padamu agar kita bisa melangkah bersama. Namun sayang kau tak inginkan hal yang sama. Maka tiada alasan bagiku lagi untuk bertahan lebih lama, karena aku sudah mendapat penolakan darimu mentah-mentah, meski kau belum tahu seperti apa aku yang sebenarnya, karena kau tak mau belajar mengenalku dengan cara yang benar.


Ya. Kau tak akan mau. Itu tak akan terjadi. Karena aku mengerti, kau tak akan mau melakukannya, sampai kapanpun.


Kemudian kulepas lagi sepatuku, menjinjingnya seperti semula. Nalarku berputar, menyayangkan yang baru saja terjadi. Bersama hati yang layu ku langkahkan lagi kakiku, menyusuri lika-liku jalan berbatu, mengenyahkan kerikil menyayat kaki meski pedihnya tak sebanding dengan luka imajiner yang terbentang dalam hati.

End.

ANGSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang