32. Usaha Lintang

21.7K 2.8K 102
                                    

Yang mauu ngomeeelll sama Lintaaaang masih boleeehhh lhoooo... hahhahahaa  

***

Saat yang kupunya hanya mimpi, apa dayaku ketika kau hanya mampu memberi janji? Kau tak dapat menepatinya itu pasti. Sebab yang kutahu, kau hanya bisa mencipta ribuan misteri. Menguburku dalam cinta kasih yang sebetulnya telah mati. Sekarat diantara ribuan perandaian yang ternyata semu. Kau memang terlalu mahir mencipta cinta palsu.

Sudah dua hari sejak Lintang mencoba mencari nomor kontak temannya tersebut. Dan dua hari pula ia selalu mencoba menekan nomor yang sudah tidak aktif. Awalnya, Lintang berpikir bahwa nomor Anjani—teman Lintang yang pernah melakukan aborsi di bangku kuliah—hanya mati saat proses mengisian daya. Namun yang ia dapati nomor itu tak kunjung aktif hingga detik ini.

Lintang nyaris gila saat mendapati usahanya seperti terhalang jalan buntuh. Sementara frekuensi mual-mualnya tak lagi bisa tertolong. Dan parahnya hal itu terjadi di sekolah. Tepatnya di ruangannya. Di mana ada beberapa rekan kerjanya yang sudah merangkap menjadi ibu dan memiliki anak.

Ia tak bisa terus berkelit masuk angin tiap kali mereka bertanya apakah ia baik-baik saja atau tidak. Lintang tahu, orang Indonesia ini gemar sekali mengembangkan spekulasi. Dan masalah sakit yang ia derita kini, pasti sebentar lagi akna menjadi buah bibir di kalangan staff dan pengajar. Dan Lintang tak bodoh jika beranggapan mereka semua akan berpikiran naïf.

"Dennis yang sakit, kok lo yang kurusan sih, Lin." Komentar Reya, ketika pada akhirnya Lintang dapat mentraktir temannya itu memakan makanan kegemaran Reya.

Ya, akhirnya, Lintang sudah menerima gaji pertamanya semalam. Dan sesuai janji, ia langsung menghubungi Reya saat itu juga. Namun berhubung Reya sedang sibuk, baru sekaranglah mereka bisa duduk bersama dengan Lintang yang membayar makanan yang mereka telan.

"Lo kayaknya nggak serasi lama-lama di rumah sakit deh." Celetukan Reya masih berlanjut. "Ganti tempat nongkrong deh, Lin. Gue saranin kuburan sekalian, jadi lo bisa tenang. Ha ... ha ... ha." Lalu Reya tertawa keras, sendirian bak orang gila.

Lintang hanya mendengus saja, sudah kebal dengan kelakuan Reya yang seperti itu. "Berubah kek Rey, jadi anggun gitu. Biar bokap sama nyokap lo di rumah bisa cepet punya mantu." Cibir Lintang sambil menggeser piringnya. Sudah cukup untuk hari ini. Janinnya, tidak suka mengonsumsi banyak makanan. Dan Lintang sudah mulai menghafal kebiasaan itu.

Bukan apa-apa, Lintang hanya tak ingin membuat Reya heboh saat melihat ia terbirit mencari kamar mandi hanya untuk memuntahkan kembali makanannya. Hal itu jelas tidak baik.

"Ck, kayaknya gue bakal dilangkahi sama Vio deh." Lalu Reya tiba-tiba cemberut. "Dia aja udah ngegiring calon di depan bokapnya kemaren pas ulang tahun. Apa nggak kejang-kejang gue."

"Serius, lo?" Lintang tak tahu mengenai fakta ini. Ia mengenal Violin—sepupu Reya—sebagai salah satu mahasiswa semester awal di kampus tempatnya mengajar dulu. "Nggak tau deh gue kalau dia udah punya pacar."

"Cowoknya cakep banget, Lin. Sumpah nggak bohong gue." Reya tampak tak terima. "Tapi tetap aja salah di mata Om gue. Ck, nanti lama-lama bokapnya Vio kayaknya bakal diracun juga tuh sama anaknya." Reya kembali mendumel. "Cuma karena tuh cowok kakeknya orang Jerman, terus Om gue senewen. Udah mikir macem-macem kalau Vio bakal tinggal di Jerman juga. Ya, padahal cowok itu juga lahir di sini."

Lintang tertawa sambil memain-mainkan puncak sedotannya. "Ngomong-ngomong Rey," ia berdeham sejenak. "Lo masih ingat sama Anjani nggak?"

Reya tampak berpikir, namun tak lama sebelum akhirnya wanita muda itu mengangguk. "Sukma Anjani 'kan? Cewek paling cakep dulu se-angkatannya kita?" Lintang langsung mengangguk. "Ingetlah, kenapa?"

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now