11. Kemudian Berjanji dan Berjanji

26K 3.2K 75
                                    


Normal POV

***

Tissa mengetukan jarinya beberapa kali di atas meja. Pikirannya menerawang jauh. Kemudian tak lama berselang ia memutuskan untuk merebahkan kepalanya juga di atas meja. Ia menutup mata walau sesungguhnya yang ia inginkan adalah berlari ke sudut kelasnya.

Mencaci maki pria berwajah datar yang selalu terlihat pucat. Namun anehnya... Huh... Dennis selalu menawan.

Sial!

Jika begini bagaimana Tissa bisa membencinya.

Memalingkan wajah ke arah lain, ia setengah berharap bahwa hari ini menteri Pendidikan yang baru mengeluarkan kebijakan, bahwa khusus hari selasa seluruh mahasiswa di Indonesia mendapat jatah libur masal. Tak peduli barang sehari saja.

"Gue bisa gila..."

Ia mengacak rambutnya dengan gumaman yang entah apa aja.

"Gila nggak usah di sini, repot gue bawa-bawa lo ke RSJ."

Tissa memutar mata, memilih mengabaikan celetukan satu-satunya teman wanitanya yang rela meladeni ketidak warasannya. Walau faktanya, kegilaannya tak ada apa-apa di banding Vio, anak teman Papa nya itu.

"Ri, gue pengen move on." Masih dengan kepala terkulai di meja, ia memberi atensi penuh pada Riza, yang duduk di meja sebelahnya.

"Kayak pernah putus aja pake move on segala." Riza mencibir. Sementara Tissa mendengus. "By the way, doi makin cakep lho. Walau tetap pucet."

"Sialan banget lo!" Tissa menghardik cepat. Secepat gerakan kepalanya yang menoleh ke arah sumber percakapan mereka. "Banget Ri..." Lalu Tissa meringis, "tapi bangsat banget, dia nggak mau sama gue." Rintihnya dengan mimik muka yang dibuat memelas.

"Lo agresif banget, Dennis merinding sendiri jadinya."

Tissa menopangkan dagu pada tangannya, lantas menghela napas panjang yang sarat akan kelelahan. "Gue cuma pengen kayak Tabitha Devereaux yang atraktif dalam menjerat cowok dingin macam Valerius Magnus. Dan kebetulan Dennis begitu adatnya."

Ariza tertawa sambil melemparkan pulpen ke arah temannya itu. "Anjriitt..." Kekehnya tanpa berniat menghentikan tawa itu. "Kebanyakan ngayal sih lo, jadi akhirnya keblangsak."

Tissa mengabaikan fakta bahwa ia baru saja mendapatkan olokkan. "Gue cuma berharap bisa ngebagi warna buat dunianya yang dingin itu, Ri. Apa itu salah?" Ucap Tissa sok dramatis.

"Lo sih, udah salah pasang niat dari awal." Ariza tetap mencibirnya. "Niat lo karena pengen undangan kawinan lo keren. Nama calon Dennis, nama bokap Dennis. Lo sih sableng." Celetuknya kembali tertawa.

"Anjing lo ya ..." Tissa memberengut. Tapi sudah begitu saja. Selanjutnya ia kembali terkubur dengan rasa melankolis yang sebenarnya tak cocok berada dalam tubuhnya. "Padahal gue udah di tolak sama dia, Ri. Tapi kok nggak ada benci-bencinya ya gue? Kebel gitu rasanya."

Kali ini Riza tidak tertawa, ia melirik ke arag cowok paling dingin di kelasnya ini. "Dennis emang dingin banget ya Tis? Gue juga kalau di tatap dia pasti menggigil."

"Nah makanya itu," Tissa mendesah lebih panjang lagi. "Tapi Ri, dia nggak pernah lo ngelempar pandangan dingin nggak bersahabat itu sama Miss Lintang." Keluh Tissa putus asa. "Sayang banget gue nggak jadi sodaranya ya, Ri. Sayang banget ..."

Riza merasakan keprihatinan, ia melirik Dennis sekilas sebelum kembali memusatkan perhatian pada teman yang mengajaknya curhat. "Awal ngeliat interaksi mereka juga gue mikirnya mereka pacaran. Dulu lah, waktu awal-awal semester, yang Miss Lintang masih jadi Mahasiswa di sini juga." Cerita Riza mengenang masa-masa pertama mengenal Dennis. "Ya secara gitu kan, dari parkiran sampai gedung utama, si Dennis ngegandeng Miss Lintang terus. Belum lagi kalau mereka pisahan di lorong gitu, aduuh... Pakai elus kepala gitu lho si Dennis."

Different Taste (COMPLETE) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt