2. Adam & Dennis

53.2K 5.3K 166
                                    

walau udah ada yang pernah baca di situs lain. Voment jugaaa yaa sayang-sayang. Karena nanti bakal aku selesaikan cerita itu di sini. hahhaa 

***

Malam merangkak semakin kelam. Dingin dari sisa-sisa hujan yang mengguyur sore tadi kini terasa menusuk tulang. Malam ini langit masih enggan membagi sinar apa pun pada bumi yang semenjak siang selalu berteman dengan temaram. Tak ada bintang yang berjajar menemani bulan, karena bulan pun seolah tengah bersembunyi di balik awan hitam.

Apa langit sedang bersiap untuk kembali menumpahkan curahnya? Sebab kini angin yang berembus dingin itu bergerak tak tentu arah. Membuat banyak pohon bergoyang gelisah karena tak menemukan ritme yang pas untuk mereka dendangkan.

"Terima kasih atas malamnya."

Aku tersenyum sembari mengangguk pada pria pemilik suara itu. Padahal seharusnya akulah yang berterima kasih atas malam yang menakjubkan ini.

Hidangan-hidangan lezat yang berhasil masuk ke perutku, juga musik indah yang membuatku terngiang, serius, pesta yang sangat elegan namun sama sekali tak terasa kaku.

"Sama-sama, Mas," aku bergumam pelan, tetapi yakin bahwa Adam mendengar ucapanku.

Kami sudah berada di depan gerbang rumah Mas Bagas. Baru saja, Adam mengantarku. Sebab seperti yang sudah direncanakan, Mas Bagas dan Mbak Farah pulang terlebih dahulu. Well, bukan aku yang merencanakannya, tetapi Mas Bagas.

"Besok siang aku jemput di kampus?"

Aku ingat menerima ajakan Adam untuk menemaninya membeli hadiah ulang tahun buat keponakannya. Ulang tahunnya masih hari Minggu, tapi berhubung besok adalah Jumat, aku menyanggupi saja ajakannya itu.

Kembali mengangguk, aku bisa melihat senyumnya tersirat lega. "Nanti aku hubungi jam pulangnya, Mas. Soalnya nggak bisa dipastikan. Tapi aku usahakan nggak sampai sore kok."

Ia masih tersenyum saat aku mengangkat wajahku yang tadi sempat tersipu. "Nggak apa-apa, Lin. Kalau sore juga nggak masalah, bisa sekalian makan malam, 'kan?"

Usianya 29 tahun, pengacara muda, pernah magang di firma hukum milik Mas Bagas, maka dari itu kakakku begitu gencar menjodohkanku dengan pria ini.

Kacamata minus membuatnya tampil matang dan dewasa. Rambut hitamnya selalu tertata rapi, entah itu karena gel rambut atau memang rambutnya yang mudah diatur. Berpostur tinggi tegap, Adam menjelma bak pria rupawan dengan bahu lebar yang terasa nyaman untuk bersandar. Hidungnya mancung dan kacamata yang bertengger di atasnya membuatnya terlihat menawan.

Sekali melihat, orang akan tahu ia adalah tipe serius. Tetapi jika sudah mengenalnya, kita akan segera mengatakan bahwa keseriusannya hanyalah topeng dari betapa konyolnya setiap lelucon yang terlempar keluar dari bibirnya.

Smart, itu jelas mewakili sosoknya. Tapi daripada semua itu, Adam memiliki sisi sebagai seorang pendengar yang baik. Entah itu karena profesinya sebagai pengacara, yang senantiasa mendengar tuntutan klien yang menyewa jasanya atau memang begitulah sifat lain yang dimilikinya.

Tapi Mas Bagas pernah bilang, bahwa Adam tidak terlalu cocok bekerja di jalur hukum. Alasannya, Adam terlalu jujur dan terlampau baik.

Adam tetaplah pria metropolitan pada umumnya. Badung dan gemar sekali berkencan dengan hiruk-pikuk dunia malam. Ditambah pengalamannya yang pernah mengenyam pendidikan di Amerika, Adam jelas tak hanya mengenal gemerlap lampu diskotik, namun juga merupakan penikmat mutlak.

Tersenyum kikuk, aku mengangguk malu. "Semoga saya hubungi Mas di jam yang bener ya, Mas." Keningnya berkerut dan lipatan di dahinya membuatnya terlihat seperti pemikir keras. "Maksud saya, Mas lagi nggak meeting sama klien atau lagi ada di pengadilan."

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now