6. Jenuh Yang Tak 'kan Surut

31.6K 3.8K 91
                                    

Sejatinya, selalu ada yang menanti kita. Entah itu cinta, entah itu kematian. Tetapi apa pun yang akan menghampiri lebih dulu, sudah selayaknya kita mempersiapkan diri.

Entah itu pelaminan.

Entah itu liang kematian.

Aku mengabaikan panggilan-panggilan dari nomor Adam sejak kemarin. Setengah mati menahan diri agar tak membuka pesan-pesannya. Aku menyibukkan diri demi keteguhan itu.

Sudah dua hari Dennis berada di rumah. Namun ia belum diperbolehkan untuk melakukan rutinitas seperti biasa. Termasuk kuliah. Tetapi aku harus tetap bekerja, tak mungkin diam saja di rumah dan hanya mengurusinya. Walau sebenarnya pun dengan berat hati Dennis membiarkanku bekerja.

Hubunganku dengannya pun sudah membaik. Sesuai yang kuminta, Dennis tak pernah menganggap ucapanku malam itu ada. Semua demi kemajuan kesehatannya dan aku bersyukur perkembangan kesehatannya jauh lebih baik dalam beberapa hari ini.

Dan mengenai kabar Adam, aku sempat dengar dari Mas Bagas bahwa dia sedang menangani kasus cukup berat. Entah bagaimana cerita lengkapnya, yang jelas, kata kakakku, klien yang ditangani Adam adalah seorang pengusaha muda yang dituduh menjiplak hasil karya orang lain. Pokoknya begitulah, aku tak tahu pasti bagaimana perkembangan kasusnya.

Hanya menitip pesan lewat doa, semoga dia senantiasa baik-baik saja. Dan kariernya pun tak ada kendala berarti. Serius, aku sungguh-sungguh mengharapkan itu.

Sudah lewat makan siang saat aku menyambangi kantin mahasiswa di lantai tiga. Lalu aku melihat dua orang mahasiswi melambai padaku. Isyarat bahwa mereka ingin aku bergabung.

"Miss Lintang! Sini ... Sini ...," ucap Violin, salah seorang mahasiswi yang kuingat berada di fakultas sastra.

"Iya, Miss. Sini!" Tisa menambah seruan itu.

Jadi daripada menolak dan makan sendirian, alangkah baik memang jika aku bergabung dengan mereka saja.

Aku tak tahu pasti Tisa dan Violin itu saudara atau tidak. Yang jelas, Violin baru semester tiga. Sementara Tisa dan Dennis sudah berada di semester akhir. Mereka siap mengajukan judul untuk skripsi.

"Miss, Dennis belum sehat ya? Kapan dia ngampus lagi, Miss?" Tisa langsung memberondongku dengan pertanyaan, bahkan sebelum aku sempat duduk. "Boleh nggak sih, Miss, kalau kapan-kapan nanti aku jenguk dia di rumah?"

Sebagian besar mahasiswa di sini tahu bahwa Dennis dan aku adalah saudara. Tapi spesifik mengenai aku adalah tante Dennis baru segelintir saja yang mengetahui. Sebab sebagian dari mereka berpikir, bahwa kami merupakan saudara sepupu.

"Boleh kok, Tis. Datang aja kalau mau. Tapi jangan ribut-ribut, ngamuk nanti Dennisnya," ucapku sambil seloroh.

Tisa mengibaskan tangannya ke udara, "Tenang, Miss. Apa pun yang bikin Dennis seneng, aku pasti bisa lakuin."

"Halah, diem lima menit juga udah gatel mulutnya, Miss. Mana bisa dia diem lama-lama," Violin mencibir.

Aku menahan diri untuk tak tertawa.

"Diem deh, Vi, sotoy banget deh lo, ah."

Pada akhirnya aku tertawa juga. "Kalian ini ya," kekehku tertahan. "Udah ah, pada udah pesen makanan belum nih?"

"Udah, Miss," Tisa yang menjawab. "Kita cuma ngemil aja, Miss, udah nggak ada kelas, tinggal pulang aja sih ini."

Aku mengangguk, lalu begitu pelayan datang, aku memesan seporsi mie goreng dan jus jeruk sebagai teman minumnya. "Jadi kalian ini sebenarnya saudara atau apa sih? Akrabnya kelewat deh."

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now