25. Bertemu Dinda

23.2K 2.9K 23
                                    

Rasa sakit itu tak ada habisnya. Sama dengan membahas cinta, kita tak tahu pada kalimat keberapa dalam satu paraghraf kita bisa berhenti menulisnya. Cinta dan manusia, merupakan paket yang tak bisa dihindari, namun dapat dipisahkan.

Percayalah, ada saat di mana rasa sakit yang menyengat akan membuatmu memilih mengabaikan cinta. Menjalani hidup dengan mati rasa, kelak kau akan bersyukur, bahwa hidup dengan warna abu-abu lebih menentramkan daripada berkubang dengan jutaan warna yang tak bisa kau gapai semuanya.

Dan nanti, sampai saatnya tiba. Debar jantung yang menggila, bukan lagi poin utama yang kau cari dalam kehidupan. Andai kita tahu, tak selamanya dunia hanya berkutat dengan cinta. Semakin bertambahnya usia seseorang, dia 'kan menyadari bahwa kedamaian jauh lebih berharga dari cinta yang itu-itu saja.

Cobalah ... tutup mata dan lihat, kedamaian apa yang ingin kau ungkap.

Seperti Lintang yang ini telah menemukan kedamaiannya sendiri. Berkutat dengan urusan-urusan sekolah di meja bersekat dengan komputer dan perangkatnya. Mengetik sejumlah nama siswa penerima beasiswa. Atau mencetak beberapa nama lainnya yang memiliki prestasi akademi yang membanggakan.

Ternyata, hidup yang ditakutinya tak terbukti. Di sini, ia tertawa setiap hari. Mendengar beberapa pelajar SMA mencoba menggodanya, atau tak jarang menerima ajakan curhat remaja putri yang memakai seragam putih abu-abu di jam istirahat. Semuanya berjalan lebih baik dari apa yang berani ia harapkan. Bertemu rekan-rekan yang bekerja di bagian yang sama dengannya, atau mendengar beberapa orang mulai gencar menjodohkannya dengan seorang guru olahraga yang masih lajang.

Semua serba baru dalam hidup Lintang. Dan semua jelas menyenangkan.

Juga ketika kedatangan Dinda dengan dramanya yang nyaris membuat Lintang kelabakan karena tiba-tiba saja mendapati keponakannya itu meraung di depan ruang Tata Usaha. Dan bagian yang paling sulit, saat Dinda mengetahui ia bekerja di sini adalah, membujuk gadis manis itu agar tidak memberitahukannya kepada Dennis dan juga Bagas.

Awalnya, Dinda jelas menolak. Bahkan ia telah mengancam akan langsung menghubungi Ayahnya saat itu juga. Sampai akhirnya Lintang mencoba berkilah, menciptakan beberapa kebohongan lagi untuk meyakinkan remaja manis itu, barulah Dinda melunak. Dengan janji, bahwa Lintang harus menemuinya setiap hari. Sama seperti hari ini, di hari ke-dua puluh tiga, Lintang bekerja di sekolah Dinda sebagai Staff Tata Usaha pun, rayuan Dinda masih sama saja. Tak berhenti menyuruhnya pulang.

Namun satu hal yang ia syukuri, Dinda memegang teguh janjinya dengan tidak memberitahukan keberadaan mengenai dirinya kepada Bagas dan juga Dennis.

"Tante kapan pulang sih? Rumah sepi banget." Dan setiap hari seperti itulah yang Dinda katakan kepadanya saat mereka makan bersama di kantin SMA.

"Nanti dong, kalau Tante udah cukup sukses, terus nggak malu sama Papa kamu." Kemudian hanya seperti itulah yang bisa Lintang ucapkan. Sebab ia tak mau menjanjikan apa-apa kepada Dinda. Takut, kalau-kalau ia tak bisa menepatinya.

Dinda mendesah sambil memainkan sedotan di atas gelas. Sama sekali tak meminumnya. Dinda hanya mengaduk-aduknya saja. Wajah Dinda seketika berubah murung. Kelopak matanya yang bawah terlihat menebal, seperti sedang menahan bendungan. Lalu tarikan napas Dinda yang terasa tercekat, memutus bendungan itu dengan lolosnya satu air mata.

Kening Lintang berkerut, ia bermaksud menegur Dinda yang tiba-tiba saja menangis begitu. Sangat hafal betul bagaimana sikap Dinda, hal itu jelas mengkhawatirkan bagi Lintang.

Namun sebelum Lintang mampu bertanya, Dinda menatapnya dengan tatapan sendu. "Mas Dennis tadi malam masuk Rumah Sakit lagi."

Lintang tahu, bahwa kabar ini akan berakhir buruk. Jadi ia memilih mencengkram erat pinggiran meja.

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now