16. Menuju Babak Baru

24.3K 3K 36
                                    

Bukan karena tak pernah menengadah tangan membuatnya menjadi manusia sombong. Tetapi menurutnya karena doa cukup ia panjatkan dalam hati. Berbicara dengan Tuhan lewat hati jauh lebih baik dari sekadar mengucap harap melalui untaian omong kosong demi mencari perhatian.

Lintang cukup meyakini diri bahwa segalanya telah ada yang mengatur. Dan Tuhan pun pasti sudah menyimpan doa-doanya sebagai tabungan. Hingga jika kelak sudah banyak dan melimpah, Tuhan akan membiarkannya memohon apapun dengan tabungan itu.

Dan Lintang percaya, suatu saat yang indah pasti kan segera tiba.

Bukan sekarang memang, itu nanti.

Sebab sekarang yang pantas ia lakukan adalah memperbanyak sabar dan hatinya.

"Jadi nggak balik ke Jakarta ini 'kan?" pertanyaan Bisma yang tadi malam mengulang.

Lintang mendengus sambil meletakan nasi goreng buatannya di atas meja makan. Sementara Bisma dan Ina sudah menempati masing-masing kursi yang berada di sana. Untuk Rivan dan Ivana, beberapa hari lalu mereka justru di ajak ke Jakarta oleh Bagas yang datang mengunjunginya, jadilah weekend ini Bisma yang bertolak ke sana untuk menjemput anak-anaknya.

"Itu aja deh pertanyaannya, bosen tau!" dengus Lintang mengundang kekehan Bisma.

"Ya... habisnya, kan biasa kamu yang semangat balik ke Jakarta tiap weekend gini, Dek." Bisma mencibir.

Lintang memutar mata, pura-pura cemberut saat menggeser kursinya. "Kan udah di bilang, Adam mau ke sini. Ntar kalau aku ikut ke sana, sama siapa dia coba?" alasan Lintang tidak ikut ke Jakarta adalah ke datangan Adam. Mungkin sekitar dua jam lagi pria itu akan sampai di Bandung. "Dia udah booked tiket pesawat, sayang kalau batal, Mas."

"Ciyeee... yang mau pacaran." Goda Bisma sampai tergelak.

Lintang melototi kakakya, malu sudah merayapi wajahnya yang sontak saja bersemu bak remaja labil dimabuk cinta. Cih, menggelikan, batin Lintang berkomentar sendiri.

Bukan apa, saat usia sudah di atas 25 tahun, biasanya wanita akan sulit jatuh cinta. Jadi bersemu merah ketika digoda soal pasangan, bukan lagi sesuatu yang bisa dianggap lumrah. Sebab seperti kebiasaan orang Indonesia, faktor usia biasanya menjadi halangan dari terciptanya ekspresi-eksprei murni orang kasmaran. Dan jiwa pendidik yang tersisa pada diri Lintang pun, mulai mengatakan tak pantas untuk bermanis-manis ketika jatuh cinta sekarang.

Tunggu... jatuh cinta?

Oh yeah, Lintang baru saja mengatakan dua kata itu dalam benaknya. Dan kini ia semakin salah tingkah menyadari dewi genit di dalam hatinya mulai berkedip nakal.

Cih! Dasar dewi jalang! Hardik Lintang pada benak sendiri.

"Bukan pacaran, Mas..." Lintang mengabaikan bunga dalam dadanya ketika mengeluh pada kakaknya itu. "Iih... apaan sih? Kan Adam minta di temani ke Lembang. Bukan pacaran itu..."

Ina yang sedari tadi diam melihat interaksi suami dan adik iparnya akhirnya melarutkan diri dalam obrolan penuh candaan ini. "Iya juga nggak apa-apa kali, Lin." Komentar Ina santai. "Tapi Mbak kasih saran, pacarannya bentar aja, abis itu langsung minta lamar. Kasih jarak waktu tiga bulan buat nikahan, biar enak halalnya, Lin." Oceh Ina enteng, yang tak menghiraukan wajah adik suaminya itu yang sudah seperti kepiting rebus. "Terserah mau resepsi di mana. Kalau di sini, pasti Mbak seneng. Kalau di Jakarta ya nggak apa-apa."

"Mbak Inaa... iihhh... ngomong apa sih?" Lintang malu dengan pembahasan semacam ini, tetapi parahnya sepasang suami – istri di depannya itu tak berperikemanusiaan terhadapnya. Mereka terus saja menggodanya. "Ya, udah, aku ikut ke Jakarta. Nanti aku kasih tau Adam kalau aku nggak bisa nemeni dia."

Different Taste (COMPLETE) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu