26. Isi Hati Dennis

22.2K 2.9K 98
                                    

Dennis hanya ingat bagaimana semalam ia merasakan kepalanya berdenyut dan pandangannya berkunang, sebelum alam bawah sadar menariknya jatuh dalam gelap. Ia sedang berlari ke kamar mandi waktu batuk pertama dan membuatnya memuntahkan darah dari mulutnya. Lalu seperti yang sudah-sudah, Dennis tahu pasti ia akan terbangun di ranjang pesakitan dengan selang infuse menancap di pergelangan tangannya.

Dan biasanya, aka nada sesosok juwita penerang hidupnya yang akan menggenggam tangannya penuh harap. Matanya sayu, hidungnya memerah dan kemudian saat kelopak mata Dennis terbuka, perempuan itu tak akan pernah berhenti mengucap syukur pada Tuhan.

Ya, itu biasanya.

Tapi tidak kali ini.

Tangannya terasa hampa. Dingin dan kaku. Tak ada tangan lembut yang memayunginya. Semua terasa benar-benar berat saat ini.

Apalagi ketika menyadari ada soso lain namun bukan seperti yang ia harap datang ke mari. Bukan Lintang yang hadir untuk mengucap syukur pada Tuhan, karena masih membiarkan Dennis kembali membuka mata.

Lintang tak ada.

Sudah sejak satu jam yang lalu ia sadar. Dan seperti biasa pula, Ayah dan Ibunya akan sibuk memanggil perawat guna memeriksanya. Biasanya Lintang akan datang memeluknya. Menangis di dadanya. Lalu tak berhenti mengucap betapa senangnya wanita itu pada mukjizat yang Tuhan berikan.

Tapi Lintang tak ada.

Kali ini benar-benar terasa hampa.

"Gue nggak tau kalau sakit lo separah itu, Den."

Yang jelas itu bukan suara Lintang. Dan Dennis masih enggan membalikkan wajah untuk merespon kehadiran Tissa yang kata ibunya telah ikut menunggui dirinya sejak pagi tadi.

"Maafin gue, Den."

"Gue nggak butuh simpatik lo." Sebenarnya yang ingin dilakukan Dennis adalah membentaknya. Namun tenaganya belum pulih untuk mengurai inginnya itu. "Ngapain lo di sini?"

Tissa sangat terkejut ketika pura-pura berkunjung ke rumah Dennis pagi tadi. Ia yang memang sedang iseng, ingin sekali pergi ke kampus bersama Dennis, kemudian bertemu dengan adik perempuan lelaki yang di carinya di depan pintu rumah Dennis. Tissa inget, betapa sembabnya wajah Dinda. Dan Tissa yang penasaran langsung bertanya saja pada remaja cantik itu.

Bak air kran yang bocor, Dinda menceritakan semua perihal Dennis. Riwayat penyakitnya dan kenapa selama ini Dennis memang tak pernah bisa lelah.

Dan selama mendengarkan cerita, Tissa hanya mematung. Tak mengerti harus mengekspresikan bagaimana rasa terkejut yang menyerang jiwanya. Ia kelabakan, hingga menyetir dengan kecepatan tinggi untuk mencapai tempat di mana Dennis tengah dirawat. Lalu memutuskan untuk menunggunya.

"Gue beli jeruk tadi," Tissa merogoh tas buah yang ia belinya di supermarket depan Rumah Sakit sore tadi. "Cuma tinggal lima, yang lainnya udah gue makan. Sepet banget tenggorokan gue tadi."

Orang yang memiliki gengsi tinggi seperti Dennis, jelas tak mengharapkan ucapan seperti 'cepat sembuh' atau 'aku pasti berdoa untuk kesembuhanmu'. Serius, sedikit banyaknya, Tissa mulai bisa memahami bagaimana karakter Dennis. Jadi, daripada memperkeruh suasana, lebih baik ia mencoba bersikap seperti biasa.

"Tadi di sana ada apel, tapi males banget gue belinya. Sumpah, jadi inget dongengnya Putri Salju, kalau makan apel mati. Kan serem." Tissa terus saja mencerocos. Tak peduli lawan bicaranya tersebut tidak meresponnya. Toh, Tissa sudah terbiasa. Diabaikan Dennis selama ini, jelas membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat dari yang bisa ia harapkan. "Terus juga ada mangga. Males juga gue makan mangga. Karena gue udah berperinsif, bakal makan mangga kalau lagi ngidam aja. Tapi berhubung lo belum ngapa-ngapain gue, jadi udah deh, gue batalin."

Different Taste (COMPLETE) Onde histórias criam vida. Descubra agora