22. Keputusan Gila

27.1K 3.1K 73
                                    

Lintang membuka mata di tempat yang baru. Bukan lagi di rumah Reya, melainkan di sebuah kamar kos-kosan yang langsung ia tempati semalam. Letaknya tak terlalu jauh dari tempatnya bekerja. Jika santai, Lintang bisa berjalan kaki menuju sekolah tempat ia bekerja. Namun jika sudah terlalu siang, ia bisa menggunakan jasa tukang ojek, yang mangkal tak jauh dari tempat kosnya ini.

Pokoknya sebuah keberuntungan, ketika secara tak sengaja, ia dan Reya sedang berkendara kemarin. Tempat kos ini terdiri dari dua lantai. Lantai atas dan bawah sebenarnya sama saja. Tetapi karena di lantai pertama tidak ada lagi kamar kosong, jadi Lintang berada di lantai kedua.

Ngomong-ngomong, ini juga kos-kosan khusus untuk putri. Jadi sangat nyaman untuk ditinggali.

Lintang masih betah berbaring di atas kasur kecil yang hanya muat untuk satu orang ini. Tempat tidur ini, memang disediakan pemilik kos bagi siapa saja yang menyewa kamar kosnya. Hanya seprai dan selimut saja yang dipinjam Lintang dari rumah Reya, saat sorenya mereka kembali ke rumah temannya itu untuk mengambil barang-barang Lintang.

"Semoga segalanya berjalan sesuai rencana," gumam Lintang sambil menikmati sinar matahari yang menerobos sela-sela ventilasinya. "Aku cuma ingin hidup normal, Tuhan. Paling tidak, sampai saat yang tepat menurut ketentuan-Mu." Lanjut Lintang bercampur desahan.

Lalu sesuai kebiasaanya selama ini, Lintang akan mencari-cari ponselnya. Syarat yang diajukan kedua kakaknya sebenarnya simple. Mereka memberikan izin pada Lintang untuk menikmati dunia baru yang dipilihnya ini. Tetapi dengan catatan, bahwa setiap hari harus memberi laporan pada mereka. Dari saat ia bangun, sampai tidur nanti.

Lintang menyanggupi saja aturan itu. Untuk satu atau dua minggu, ia pasti akan menghubungi mereka tepat waktu. Tetapi lama-lama nanti, mereka pasti akan bosan sendiri.

Membuka kode pengaman ponselnya, Lintang dikejutkan dengan enam belas panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak dikenal. Keningnya serta merta mengerut. Ia melihat jam dinding yang masih menunjukan pukul setengah tujuh. Lalu melihat riwayat dari telepon itu. Setengah jam yang lalu. Lintang membatin.

Sekitar jam enam pagi tadi. Dan karena Lintang selalu menggunakan mode silent ketika tidur, maka jangan salahkan dia kalau ia tidak menyadari ada yang memanggilnya sebanyak itu. Biasanya ia akan mengabaikan nomor-nomor asing yang tak dikenalnya. Biasanya Lintang akan begitu. Tapi kali ini terasa aneh jika ia mengabaikannya begitu saja.

Mengingat begitu banyak panggilan tersebut mendera ponselnya. Lintang mengira adalah kabar penting yang ingin disampaikan oleh nomor baru ini. Jadi ketika Lintang memutuskan untuk menghubungi nomor itu kembali, Lintang justru dikejutkan oleh panggilan dengan nomor yang hendak ditujunya tadi.

Cepat-cepat ia mengangkatnya. Berarti benar, ada berita yang coba disampaikan nomor ini. Buktinya saja, ia terus menghubungi nomor Lintang.

"Hallo?" sapa Lintang sambil berupaya duduk.

"Iya, hallo ... ini dengan Lintang?" balas suara si penelpon.

Lintang tak sempat mengerutkan kening, saat menyadari bahwa penelpon ini benar-benar mengenalnya. Ia segera saja menjawab pertanyaan itu dengan keyakinan, bahwa si penelpon bukanlah orang iseng yang akan mengerjainya. "Iya, ini saya sendiri."

"Oh, syukur kalau begitu."

Lintang bisa mendengar helaan napas lega penelpon tersebut. Dan untuk sekadar memberitahu, penelpon ini adalah laki-laki.

"Ya, kalau boleh tau, ada apa ya?" Lintang tak ingin berbasa-basi. Masih terlalu pagi untuk bermanis-manis cerita.

"Iya, kita langsung saja ya?" sahut penelpon yang Lintang tak tahu identitasnya. "Maaf ganggu kamu pagi-pagi ini." Perasaan Lintang mulai tak enak. "Tapi malam tadi, saya menemukan Adam mabuk di bar."

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now