23. Maafkan Saya, Lintang

35.5K 3.4K 104
                                    

Prang...

Dennis terkesiap saat gelas yang dipegangnya jatuh dan menghantam lantai. Padahal sebelumnya tak ada masalah dengan caranya memegang gelas itu. Tetapi sepertinya tangannya tengah tergelincir hingga gelas itu bisa terlepas dari genggamannya.

Bukan bermaksud lebay atau berlebihan.

Ya, ini seharusnya hanya soal gelas. Tetapi permasalahannya Dennis tak bisa sesantai itu. Pasalnya, ia ingat betul di mana ia mendapatkan gelas tersebut. Saat itu ia sedang berlibur dengan teman-teman mahasiswanya yang lain di Roma, Italia. Saat berada di toko pernak-pernik, matanya langsung terpikat pada sepasang gelas keramik bergambar lucu. Dan ia langsung saja membelinya.

Memberikan satu untuk Lintang, dan satu lagi menjadi miliknya.

Dan kini, salah satu dari gelas itu hancur. Parahnya, ketika ia memakai gelas Lintang.

"Kenapa, Den?"

Farah mendatangi anaknya yang terdiam begitu saja di dapur.

Dennis menatap ibunya sekilas, sebelum kembali melihat pecahan-pecahan gelas yang berada di lantai. "Gelasnya pecah, Ma." Jelasnya singkat.

Dan Farah hanya ber'O' ria saja pada awalnya. "Ya, udah, nanti biar dibersihin Bik Yum." Katanya memberi solusi. Tidak tahu bahwa pendapat anaknya tidaklah sesantai itu. "Sana sarapan aja, nanti tehnya biar Mama buatin lagi." Seru Farah memberi perintah.

Dennis hanya berdecak. Tak mengindahkan saran ibunya. Ia justru berjongkok dan memulai memunguti pecahan itu satu per satu. "Ini gelasnya Lintang, Ma. Perasaanku jadi nggak enak gini, ya?"

Kening Farah berkerut, tapi ia tak mengatakan apa-apa. Justru ia berjalan lurus ke dapur demi membuatkan minuman baru untuk anaknya. "Kamu kebanyakan nonton sinetron, Den. Jadi kebiasaan berpegang teguh sama firasat." Cibir Farah sambil tertawa.

Tapi Dennis tak ikut tertawa. Ada yang aneh dengan perasaannya. Dan ini jelas bukan pengaruh dari sinetron yang kerap ia tonton bersama adiknya saat malam tiba. "Dennis serius, Ma."

"Apalagi, Mama, Den. Lebih dari seriusn." Komentar Farah yang tak sungguh-sungguh. Dennis hanya berdecak, ketika Farah meliriknya. Setengah nekat untuk memberitahuan kepada putranya itu kalau sebenarnya sekarang Lintang tak lagi berada di Bandung. "Udah deh sana, sarapan sama Papa sama Dinda. Nanti sisanya biar Mama yang beresin."

Dennis tak menggubris lagi ucapan ibunya. "Pokoknya hati Dennis tiba-tiba nggak tenang gini deh, Ma." Dennis berdiri dan membawa pecahan kaca yang telah ia pungut ke tempat sampah. "Teleponin Om Bisma, Ma. Please, atau langsung telepon Lintang aja sekalian. Dennis mau bicara sebentar."

Semenjak hari pengakuan Dennis itu, Bagas bertampang garang merebut paksa ponsel anaknya. Menyimpannya disuatu tempat di dalam ruang kerjanya, hingga sekarang, ponsel itu belum juga dikembalikan padanya.

"Eheem ..." Farah mencoba berdeham singkat. Ia sedikit gelapan terhadap permintaan anaknya itu. "Iya, nanti aja Mama telepon Tante Ina. Ya, udah kamu ke sana dulu ya? Nanti Mama nyusul."

Dennis diam. Tak yakin pada perkataan ibu kandungnya itu. Tapi mendebat Farah disaat Ayahnya masih berada dirumah sama saja bunuh diri. Dan Dennis sedang tak memiliki cadangan nyawa untuk terus bertahan hidup. Mencoba menerima dengan lapang dada, Dennis mendesah dan memilih memutar tumit menuju ruang makan.

"Tapi beneran ya, Ma? Nanti telponkan."

Dan Farah hanya bisa mengangguk saja.

Dennis ingat, Lintang pernah memberitahunya, bahwa saat itu ia tengah menjatuhkan Vas bunga kesayangan neneknya. Dan Lintang lalu berkata, perasaannya menjadi tak enak setelah itu. Hingga sepanjang hari pun, perasaan Lintang tak juga membaik. Padahal waktu itu Dennis tengah menemaninya.

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now