1. Hujan

93.7K 5.9K 150
                                    

Yang di prolog hanyalah potongan kejadian yang akan kita temui beberapa Bab ke depn yaa... 

*** 


Apa yang kurasakan padanya, jelas tidak semanis barisan puisi atau cerita novel-novel roman yang di karang oleh penulis-penulis hebat di luar sana. Karena yang kutahu perasaanku padanya sama seperti tato yang terpahat di jantung. Dan meninggalkan bekas luka yang akan selalu berdenyut perih karena ketidakmampuanku untuk menemukan peredanya.

Menyakitkan, mematikan. Tapi aku tak peduli, karena aku menikmati dirinya. Sosok yang terpatri sempurna pada degupan jantung ini.

Namun dari segalanya yang membuatku merana adalah ketika aku menyadari ia juga mempunyai hasrat yang sama sepertiku.

Lalu? Bukankah harusnya segalanya berakhir indah?

Tidak, tentu saja tidak. Karena sesungguhnya perasaan ini tidaklah pantas untuk ada. Bahkan begitu terlarang untuk sekadar menjadikannya ada.

Karena dia ...

... keponakanku ....

***

Katanya, hujan adalah musik merdu dari langit. Senandung kerinduan pada alam yang tak sempat terucap. Berbagai persepsi tentang hujan tumpang-tindih selalu datang menghadang.

Rintikkan yang terkadang dipuja namun tak sedikit juga yang dicela. Buliran air yang selalu terempas pada bumi keras yang tak pernah seindah kiasan. Lalu hujan tetap tak pernah menyesal untuk kembali terempas dan kemudian hilang meresap di dasar bumi.

Hujan, bukankah terkadang orang-orang menyebut kemunculannya sebagai pertanda bahwa alam sedang bersenandung?

Lalu mengapa petir dan kilat turut menyambar mengerikan?

Senandung cinta dari langit, nyatanya tak mampu membuat para pecinta merasa bahagia. Termasuk juga aku.

Aku selalu mengalami dilema yang mengenaskan kala hujan telah melepas jutaan ribu kubik airnya ke bumi.

Karena apa?

Karena ada seseorang yang begitu mencintai hujan, namun tak mampu bertahan di bawah guyurannya. Hingga terkadang aku malah sibuk menyalahkan hujan atas apa yang kemudian menimpanya, sebab yang kutahu ketika hujan turun aku tak mampu melarangnya untuk berada di bawah hujan.

Lalu, hujan, katakan padaku bagaimana aku harus memaknaimu?

***

"Ya, Mas?"

"Kamu masih di kampus, Lin?"

"Iya, tapi sebentar lagi pulang, Mas." Aku melirik jendela yang memang sengaja kubuka. "Masih hujan di sini, Mas. Bentar lagi."

"Ya udah, kalau begitu. Mas cuma mau ngingetin soal rencana makan malam nanti."

Aku mengingat acara itu dengan jelas, sebab kakakku ini terus mengulangnya selama beberapa hari belakangan kemarin. "Aku inget lah, Mas. Nggak mungkin lupa, kalau tiap hari itu-itu mulu yang diulang," kataku jengah, namun tawa kakakku membuat senyumku terkembang juga.

"Iya-iya, cerewet, pokoknya nanti Adam yang jemput kamu. Jam tujuh ya, Dek? Jangan kelamaan dandan," ledeknya terpingkal.

Aku mendengus walau tahu bahwa ia tak akan pernah melihat. "Bawel!" aku menggerutu. "Nanti di rumah juga pasti dibahas. Bikin panas kuping aja," gerutuanku berlanjut. Namun kakakku masih terdengar tertawa di sambungannya.

Different Taste (COMPLETE) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora