47. Hujan Masih Sama

24.7K 3.5K 152
                                    


***

Saat tanah menginginkan manusia. Tuhan mengabulkan dengan mencabut nyawanya. Ketika langit membutuhkan jiwa. Tuhan memberinya arwah dari para manusia.

Tuhan adil kepada langit dan buminya. Memberi apa yang mereka pinta, sebab Tuhan tahu, untuk melindungi para manusia, langit dan bumi senantiasa berkorban.

Dan saat hujan dari langit mengguyur bumi, Lintang sepenuhnya memahami bahwa Dennis telah sampai di pintu surga. Lelah terus berjuang melawan sakit, Dennis akhirnya menyerah dengan memasrahkan diri kehadapan Pencipta.

Ia biarkan hujan mengguyur dirinya, tak peduli bahwa dingin mulai mendekapnya erat. Lintang menggigil karena air mata. Tak kuasa menatap gundukan tanah basah yang ada di hadapannya. Dennis telah tiada, jasadnya telah di telan tanah. Sementara rohnya kembali pada Sang Pemilik. Dan Lintang merasakan hatinya hampa.

Biasanya Dennis hanya menutup mata untuk waktu yang lama. Biasanya setelah lelah mereka menanti, Dennis akan memberikan kejutan dengan membuka mata. Dan biasanya, Dennis akan bangun dan memeluk mereka. Ya, dan itu biasanya. Tetapi sekarang adalah pengecualian.

Dennis tak akan bangun lagi mulai sekarang. Tubuh Dennis tidak lagi tertutup selimut, namun sudah tertutup tanah sepenuhnya. Dan yang paling menyedihkan dari segalanya adalah, Lintang tak akan pernah menemukan Dennis di mana-mana.

Dennis …

Hah … kehampaan itu bahkan sudah sangat terasa.

“Gue udah bilang ‘kan, Den, gue pengen liat nama lo ada di buku nikah, bukan di batu nisan.” Racauan Tissa masih mengudara. Menemani rintikkan hujan mengawal tugasnya. Belum lagi tangisan yang semenjak kemarin tak pernah surut. “Gue belom bawa lo ke bokap gue, Den. Lo belum kenalan sama dia.”

Lintang mengeratkan rahangnya karena mendengar racauan Tissa. Menggenggam erat tangannya sendiri, Lintang tengah mengupayakan diri agar tak berteriak menyuruh Tissa Diam.

“Gue sayang sama lo, Den. Gue sayang banget sama lo.” Ucap Tissa lagi dengan kesenduhan yang tak berubah.

Lintang memutuskan mengubur dirinya dalam air mata, terisak tanpa suara. Matanya terus menatap pada batu nisan yang bertuliskan nama keponakannya tersayang. Dan rintihan Tissa memperparah keadaan. Lintang sudah memeluk tanah di mana tubuh Dennis telah di kembalikan kepada bumi tadi. Ia meraung juga tadi, tapi sampai kepalanya terasa pening, Dennis tak juga kembali.

Dennis tidak tidur lagi.

Dennis bukan koma.

Jadi ia tak akan pernah bangun.

Tugas Dennis di dunia telah selesai. Sekarang saatnya ia membawa rapot di hadapan Tuhan.

“Jatuh cinta ke elo udah bikin gue sakit, Den. Tapi di tinggal mati sama elo bikin sakit yang gue rasa nggak ada apa-apanya di banding sakitnya kehilangan elo.” Isakan Tissa menyayat menyedihkan. Di bawah payung hitam yang di bawa Violin, Tissa tak malu lagi menumpahkan segala kesedihannya. “Kalau gue bilang, gue nggak ikhlas, lo bakal balik nggak sih, Den?”

Lalu Tissa terisak semakin kencang. Terseduh karena tak kuasa menahan perihnya kehilangan. Ia bersumpah, lebih baik melihat Dennis mengabaikannya seumur hidup, daripada menyadari Dennis telah meninggalkannya untuk selamanya.

“Dennis nggak bakal balik, Tis.” Violin turut berjongkok di sebelah Tissa. Sebelah tangannya memegang payung dan sebelahnya lagi ia gunakan untuk mengusap punggung sahabatnya itu. “Jangan mempersulit dia, Tis. Lo ikhlasin Dennis. Kasih dia bahagia di akhirat. Kan lo bilang sendiri kalau di dunia ini dia selalu menderita karena sakitnya.”

Different Taste (COMPLETE) Onde histórias criam vida. Descubra agora