13. Niat Berhijrah

24.3K 3.2K 53
                                    

Bagi dunia, kau mungkin hanyalah manusia. Tapi bagi aku yang mencinta, kau merupakan segalanya. Letak beragam bahagia juga derita. Kau sukma yang ingin kupuja di sepanjang masa. Wahai cinta, lihatlah aku membawa surga.

Lintang menutup buku di hadapannya setelah membaca sebait sajak karya penulis baru yang bukunya ia ambil secara acak sewaktu itu.

Sajak-sajak puisi cinta yang disuguhkan sang penulis benar-benar mewakili hatinya. Membuatnya seakan merasa bagaimana jiwa para pemain dalam novel roman karangan anak bangsa tersebut, merayapi dirinya.

Menengadahkan kepala, Lintang mengamati structural dari langit-langit kamarnya. Pikirannya kosong, padahal yang harus ia pikirkan itu banyak.

Rasanya ia butuh tempat untuk sendiri sekarang. Bukan tempat pelarian, Lintang hanya berpikir bahwa ia ingin sendirian saja dulu. Mengkaji beberapa hal yang sudah pernah ia lewati, demi mencari kesimpulan dari apa yang ia ingin pahami.

Ia ingin berhenti, tapi tak tahu apa yang mesti dihentikan.

Ingin berlari, namun ia tak mengerti untuk apa hal itu ia lakukan.

Ia seperti kehilangan landasan dalam hidup yang terus berpacu bersama waktu ini. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Dan kini ia tak bisa mengenali hatinya.

"Lin?"

Kepalanya terangkat saat seseorang memanggilnya. Menoleh ketika pintu kamarnya telah terlebih dahulu terbuka. Menampilkan sesosok wanita hebat yang sukses dalam karir dan rumah tangga. Tersenyum hangat padanya, Lintang tak pernah merasa kecewa sewaktu kakaknya memilih wanita itu sebagai istri.

Walau mereka menikah karena kesalahan, tapi bukankah cinta tak pernah salah?

Farah Salwa Wijaya. Anak terakhir dari tiga bersaudara. Yang artinya Dennis bukanlah cucu pertama dari keluarga Farah. Berbeda dengan keluarganya. Dennis merupakan yang pertama. Dan ingat apa kata pepatah yang mengatakan, bahwa yang pertama akan senantiasa istimewa.

Seperti cinta pertama yang sulit terlupa.

"Kenapa, Mbak?" Lintang membenahi posisi duduknya. Bersandar seperlunya, namun punggungnya tetap saja tegak. "Aku pikir mbak udah berangkat."

Farah menggeleng seraya masuk, "mbak nggambil cuti tiga hari." Sebelum kening Lintang berkerut melukiskan tanda tanya, sang kakak ipar yang pengertian segera memberi penjelasan yang di butuhkan Lintang. "Capek banget, Lin. Seminggu kemarin udah banting tulang nyaris 24 jam di rumah sakit mulu. Jadi sekarang jatahnya Mbak deh, ongkang-ongkang kaki di rumah."

Lintang tertawa dan meletakkan bukunya di atas meja. "Jadi libur mau ke mana kita?" Tanya Lintang dengan alis yang di naik-turunkan sedemikian hingga. Tahu betul kebiasaan kakak iparnya ini. Lintang sudah berasumsi akan pergi ke suatu tempat sesuai kebiasaan sang kakak ipar.

Namun Farah terlebih dahulu menggeleng. "Kita di Jakarta aja." Katanya sambil merebahkan tubuh di atas kasur Lintang. "Mbak Ina yang mau ke sini, nanti kita temani dia belanja."

Lintang mengangguk, ia ingat bahwa kakak iparnya yang satu lagi memang berniat mengunjungi mereka. Sembari berplesir membeli beberapa cetakan kue-kue kering.

"Mbak kemaren ngobrol deh sama Ina," fokus Lintang kembali pada Farah. "Dia katanya udah ngomong ya sama kamu soal keinginannya buat ngajak kamu bantu-bantu di sana." Lintang belum mengatakan apapun, ia diam karena ingin menyimak. "Terus tanggapan kamu gimana?"

Lintang tersenyum lemah, "belum tau, Mbak." Desahnya kemudian. "Masih abu-abu aja rasanya."

Ia tak berbohong ketika mengatakan kebingungannya. Lintang pernah memilih di masa depan mana ia ingin menghabiskan waktu. Tetapi yang terjadi ia malah tetap jalan di tempat tanpa sekalipun berani maju.

Different Taste (COMPLETE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang