28. Para Pejuang Patah Hati

24.1K 2.9K 65
                                    

Lintang termenung menatap lama ubin dari kamar yang ia tempati. Tak terfokus sepenuhnya. Hanya menatap saja, sementara pikirannya sibuk menerawang jauh.

Adam mengiriminya pesan petang tadi, dan sampai malam begini, Lintang masih belum membukanya. Pikirannya sedang kalut. Hatinya dirundung bimbang. Kepalanya berdenyut memikirkan macam-macam. Jadi daripada ia semakin gila, lebih baik mengabaikan dulu pesan-pesan itu.

Lintang tahu, ada yang tak beres dengan tubuhnya. Obat lambung yang biasa ia konsumsi tidak menyembuhkan total gejala sakitnya. Juga obat sakit kepala yang diberikan Reya padanya dimobil tadi, tak juga menunjukkan reaksi apa-apa. Kepalanya semakin berat. Ia sudah mencoba tidur, tapi rembesan keringat terus membasahi bajunya. Padahal kipas angin telah dinyalakan hingga volume paling besar.

Biasanya jika sudah begini, hanya ada satu vonis yang diberikan Farah padanya. Yaitu, asam lambungnya telah meningkat menjadi liver. Biasanya itu dilakukan Farah untuk menakut-nakutinya, agar tak lagi melupakan makannya. Tetapi kali ini, Lintang yakin, gejala liver kini benar-benar menjangkitnya. Membayangkan suatu saat akan mati karena penyakit ini, menyergap ketakutannya.

Ponselnya berdering. Lintang ingin mengabaikannya, namun itu bukan dari Adam. Panggilan itu dari Dinda. Secepat kilat, ia menyambar ponsel yang ia letakkan tak jauh dari bantalnya.

Takut-takut Lintang berfirasat, bahwa Dinda membawa kabar mengeni Dennis. Kemudian hal itu membuatnya lumpuh. Ia yag baru saja membayangkan kematiannya, kini harus rela menggigit bibir demi menghapus bayang-bayang kematian yang lainnya.

Tidak boleh! Batinnya berteriak.

"Dennis pasti baik-baik saja." Bisiknya menenangkan diri.

Entahlah, pikirannya benar-benar kalut sekarang. Semua masalah ini telah membuatnya hampir menjadi gila. Apalagi fakta yang paling mengerikan yang baru saja ia terima. Bahwa benaknya, sudah tak lagi sesuci sebelumnya. Ia telah kotor dan sudah terjamah. Bukan lagi gadis dengan kesucian mahkota seperti yang biasanya diagungkan oleh gadis-gadis Timur sepertinya. Sekarang segalanya sudah tak lagi ada harganya. Ia kotor dan tercermar. Tak hanya hati tapi tubuh juga.

Menggeleng untuk memutus sisi melankolis yang mengganggu, Lintang segera menjawab panggilan Dinda. "Hallo, Din?"

"Tante..."

Lintang menarik napas. "Ya, sayang, kenapa?"

Kediaman Dinda justru semakin membuatnya kalut. Ia mencengkram erat ponselnya, kemudian menaikan kedua kakinya di atas ranjang, yang semula masih ia julurkan kebawah. "Dinda?"

"Tante di mana?" suara itu mengalun serak.

Dan Lintang semakin takut. "Kenapa, Din? Ada apa sama Dennis?" Lintang benci berfirasat begini. Ia benci jika suaranya yang seharusnya tegar, malah pecah bersamaan dengan tetes air mata yang luruh juga.

"Tante di tempat kos ya?"

Tanpa pikir panjang Lintang menjawabnya cepat. "Iya, sayang. Tante di tempat kos ini? Dinda kenapa? Apa ada yang buruk terjadi sama Dennis?" Lintang tak lagi bisa membendung racauannya. Pikirannya sudah memproyeksikan hal-hal buruk sejak tadi. Jadi jangan salahkan dia, yang kemudian bereaksi panik begini.

"Tante, buka pintu kamar Tante deh. Dinda di depan sama Papa."

"Hah?" Lintang tak mengerti. "Apa Din?"

Helaan napas Dinda menerpa, dan Lintang bisa merasakan itu. "Dinda di depan kamar kosnya Tante. Keluar ya? Ini Dinda gedor."

Dan bersamaan dengan itu, Lintang terperanjat saat menyadari bunyi ketukan pada pintunya. "Hallo, Din?" rupanya Dinda telah memutus sambungan mereka.

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now