10. Pilihanku Tetap Sama

25.6K 3.5K 99
                                    


Jika kau terus melihat ke belakang, kau tidak akan bisa menatap masa depan. Mengenang memang indah, tapi tetap pada porsinya.

Tetapi aku tak punya masa lalu, namun kenapa masa depanku pun terkesan abu-abu.

Aku menarik napas dalam-dalam di tengah ramainya pesta yang digelar kakakku. Meneliti tamu-tamu yang hadir untuk sekadar memberi selamat atau sekalian makan siang. Pesta digelar dari pukul satu sampai lima sore saja. Tetapi apa pun itu, yang namanya pesta tentu akan membawa dampak lelah yang berkepanjangan.

Seperti kami pagi tadi, padahal hanya khitanan saja, tapi dandanan kami sudah seperti orang ingin pergi ke acara pernikahan selebritis. Bersiap dari subuh, dan baru selesai mendekati jam sebelas siang.

Ck, dasar wanita. Semua menginginkan tampilan cantik dan sempurna.

"Tan ...."

Dinda bergelanyut di lenganku. Sudah dua kali ia menguap sepanjang acara tadi. Namanya juga hanya acara khitanan, jadi tak banyak pertunjukan yang diusung dan tampilkan.

"Ambil makan lagi deh, Din, biar nggak ngantuk."

Ia kembali menguap, sementara kami berdua duduk di sudut dekat dengan pilar pintu masuk dan keluar. "Bosen, Tantee ... Nggak bisa teleponan, berisik, huwaaa ...."

Dasar ABG! dumelku dalam hati.

Ya, sudah menjadi rahasia umum, jika bagi orang kasmaran, suara pujaan hati terasa lebih penting dari jadwal makan tiga kali sehari.

"Elaah ... Cabee ...," aku mengikuti sebutan yang diberikan Dennis untuknya. "Line kek, BBM, ribet banget deh."

"Tante mah gitu, nggak asik," omelnya sambil mendengus. "Namanya pacar sih, pengennya denger suara dia, Tanteee ...."

Nah, sekarang dia malah merajuk kepadaku.

"Tante tuh nggak punya pacar, makanya nggak ngerti kangen." Ternyata omelan itu tak serta merta berhenti. "Om Adam aja digantungin mulu, makanya jomblo, kan?"

Aku tertawa saja. Malas sudah menanggapinya yang sedari tadi mengeluh mengenai ini dan itu.

"Lintang ya?"

Aku mendongak saat seseorang menyapaku. Kemudian sontak berdiri ketika mengenali sosoknya. "Bude Ilas?" Aku sudah berdiri dengan senyum lebar. "Ya ampun, Bude." Aku segera memeluknya, "Bude sehat, kan?" kataku setelah melepaskan pelukan kami.

Bude Lhasmawati atau yang biasa dipanggil Bude Ilas ini adalah kakak sepupu Mama. Tinggal di Surabaya, suaminya adalah orang asli Manado. Namun karena sejak dulu bekerja di Surabaya, jadi mereka memutuskan untuk menetap di sana, menikmati masa pensiun bersama.

"Lintang udah besar gini ya? Budenya sampai nggak tanda."

Aku tertawa menanggapi hal itu. "Iya dong, Bude, udah mau 27 ini," ucapku ringan.

"Nggak nyangka ya, Lin. Eh, ngomong-ngomong belum nikah kan kamu?"

"Kalau udah nikah pasti Bude dikabari. Orang sunatan gini aja Bude dihubungi Mas, apalagi kalau Lintang nikah, Bude," kelakarku sambil tertawa.

"Soale, Bude-mu ini wes pikun lho, nduk. Mana tahu udah diundang tapi Bude lupa."

Usianya lebih tua dua tahun dari almarhumah Mama. Tapi Budeku ini masih terlihat segar, akibat pola makannya yang sejak dua puluh tahun yang lalu ini tak lagi mengonsumsi segala sesuatu yang digoreng.

Segala sesuatunya direbus atau dikukus.

Aku membayangkan hidup seperti itu justru akan membunuhku. Bagaimana mungkin ada orang yang tahan makan tanpa ayam goreng, sambal yang merah dan berlumur minyak, juga santan ... Hey, aku memang bukan pemuja santan. Tetapi paling tidak, dalam setiap minggu kami akan makan malam ditemani gulai juga rendang.

Different Taste (COMPLETE) Onde histórias criam vida. Descubra agora