8. Egois Namanya

26.4K 3.5K 94
                                    

Aku hanya mengenakan kaus lengan panjang dan jins biru tua saat mengiyakan ajakan Adam untuk bertemu sebentar dengannya. Katanya hanya ingin mengajakku makan sate di di depan komplek saja. Aku tahu malam ini tak hanya sekadar makan sate, Adam pasti memiliki sesuatu yang ingin dia sampaikan.

Baru saja aku menuruni tangga, Dennis sudah menungguku di depan pintu dengan kedua lengan terlipat di dada. Memberi kesan angkuh di wajahnya yang pucat, aku mengernyitkan kening mencoba mengurai maksudnya.

"Ngapain di depan pintu gitu, Den? Udah malam, masuk angin nanti," ucapku berjalan ke arahnya.

"Oh, jadi aku yang masuk, sementara kamu yang mau keluar, gitu ya?" Senyum miringnya tergambar dan aku masih tak mengetahui makna raut itu sebenarnya. "Kamu juga masuk!" sentaknya tiba-tiba.

"Dennis ... kamu kenapa, sih?"

"Kamu yang kenapa, Lin?" nadanya masih sama tinggi. "Masuk kamu!"

Aku menggeleng tak mengerti, mencoba meraih salah satu lengannya, Dennis sudah bereaksi mendorongku ke dalam lagi. "Apa-apaan sih, Den?" protesku atas sikapnya.

"Masuk kamu! Ngapain cowok itu datang lagi, hah?! Mau pergi kamu sama dia, iya?!"

Sepertinya Dennis menyadari keberadaan mobil hitam di depan rumah. "Den, dengerin dulu ...."

"Nggak ada denger-denger!" Ia terlihat kalap dan itu tak bagus untuknya. "Masuk kamu ke dalem. Nggak perlu ketemu-ketemu dia lagi." Ia mulai menunjukkan tanda-tanda kemarahan yang tak akan padam sekalipun aku berjanji atas nama Tuhan.

"Denis, Adam cuma mau bicara."

"Nggak!" Ia menutup telinga. Kemudian membukanya dengan rahang mengeras. "Dia mau ngambil kamu dari aku! Cowok itu brengsek!"

"Dennis ... Lintang, ada apa ini?"

Mbak Farah datang dengan wajah panik. Ia menghampiri kami, namun hal itu kemudian membuat Dennis semakin tak suka. Ia berdecak dua kali, lalu berjalan keluar dengan langkah yang dihentak pertanda marah.

"Lho, Den, mau ke mana?" Mbak Farah berusaha mengejar, namun aku segera menghalanginya.

"Biar Lintang yang ngejar ya, Mbak?"

"Tapi, Lin ...."

"Udah nggak apa-apa, Mbak tunggu aja di rumah ya?" Senyumku mencoba meyakinkan. "Tadi sama Lintang berantem-berantem gitu, Mbak. Biasalah Dennis nggak terima."

Mbak Farah mengangguk, dan aku memilih melesat mengejar Dennis.

"Dennis?!" panggilku kuat. Mencoba mengayuh langkah semakin dekat. Aku bisa melihat bahwa kini Dennis sudah berhadapan dengan Adam.

Ya, Tuhan, firasatku sudah tak enak sekarang.

Aku belum tahu apa yang mereka bicarakan, tapi melalui isyarat wajah yang sama-sama menegang, aku tahu mereka sudah sempat beradu mulut sebelumnya.

Pasti Dennis yang memulai. Sebab dia lah yang tengah kalap tak terkendali sekarang ini.

"Den ...."

Keduanya sama sekali tak menoleh kepadaku. Mereka tengah sibuk beradu pandang. Saling melucuti lawan dengan tatapan tajam. Seolah pandangan satu sama lain adalah belati paling tajam yang dapat merobek tak hanya hati, namun juga jantung.

"Gue minta lo pergi dari sini," geraman dari suara Dennis terdengar jelas. "Berhenti nemuin Lintang, jadi mending lo cabut sekarang."

"Saya butuh bicara sama Lintang. Dan saya nggak akan pergi sebelum ketemu sama dia," Adam menjawab lugas. Nada suaranya tegas dan sama sekali tak menyiratkan emosi.

Different Taste (COMPLETE) Where stories live. Discover now