14. Hijrah

22.6K 3.2K 22
                                    


Lintang sudah menduga bahwa keputusannya untuk hijrah ke Bandung akan mendapatkan penolakan keras dari Dennis. Bahkan Lintang hampir menyerah ketika Dennis tetap menentangnya, walau Dennis tahu, Ayah dan Ibunya sendiri sudah berlapang dada membiarkan Lintang untuk tinggal bersama Bisma dan keluarganya di Bandung.

"Aku nggak selamanya di sana, Den. Nanti kalau nggak betah juga bakal balik kemari." Lintang masih merayu.

Tapi Dennis dengan gelengan tegasnya tetap tak terpengaruh. "Enggak!" putusnya final, bak seorang hakim di ruang sidang.

"Dennis..." Bagas mengintrupsi aura ketus yang dilontarkan sang putra untuk adiknya. "Kamu nggak bisa semena-mena sama tante kamu." Tegurnya dengan tegas. "Lintang itu tante kamu, Den. Hormati apapun keputusannya."

"Tapi, Pa..."

Bagas menyelanya, "nggak ada tapi-tapi." Putus Bagas tetap mempertahankan kewibawaannya sebagai seorang Ayah yang pendapatnya adalah keputusan terakhir yang wajib di dengar di rumah. "Lagi pula, Lintang bukan pergi jauh. Dia hanya ke Bandung. Dan di sana juga ada kakaknya. Lintang nggak akan terlantar."

Betapa Bagas menyayangi Lintang. Dan ia ingat betul apa yang menjadi keinginan adiknya sejak kecil. Lintang hanya ingin menjadi ibu rumah tangga di masa depan. Sebuah impian sederhana yang ia kenal melalui mendiang ibu mereka yang mengabdikan dirinya untuk mengurus keluarga.

Membalut cacat besar yang sudah dilakukan Bagas pada usia belia. Rahma—nama wanita hebat itu, bahkan tak pernah mengusirnya karena mempermalukan keluarga. Padahal kesalahan yang ia buat sangatlah fatal. Dan hal itu yang kemudian Bagas ingat. Menjadi wanita yang bekerja mengurusi rumah bukanlah hal memalukan, justru membanggakan di mana biasanya wanita berpendidikan tinggi akan memilih karir di luar rumah karena memikirkan gengsi dengan ijazah perguruan tinggi yang sudah di tangannya.

Bagas lalu menyadari, bahwa selama ini Lintang tak pernah nyaman dengan pekerjaannya. Maka dari itu, kali ini, ia melapangkan hatinya, membiarkan adik kecil kesayangannya berjalan di jalan bernama impian kecil yang sudah Lintang miliki sedari remaja.

Hobi memasak, yang kelak akan menjadikan sebagai lading bisnis. Dan melalui Ina, impian kecil Lintang akan segera terwujud.

"Dennis cuma nggak mau, Lintang pergi, Pa." Ucap Dennis lesu.

Bagas emndekati sang putra dan merangkul bahu anaknya itu. "Bandung – Jakarta deket lho, Mas." Kata Bagas mencoba melunakan hati anaknya. "Kita bahkan bisa ke sana setiap hari." Lanjutnya masih dengan nada yang sama.

Dennis tak serta merta menjawab, ia menghela napas dan menatap Lintang lurus-lurus. Setengah memutar otak, alasan apa yang bisa ia guna untuk menghalangi niatan itu. Berpura-pura sakit bukanlah gaya Dennis sekali. Serius, ia benci ketika terlihat menjadi lemah karena sakitnya. Jadi jangan harap, ia akan melakukan akting konyol yang membuatnya lemah, dengan harapan bahwa Lintang tak akan pergi.

Lagipula, Lintang mengenalnya dengan baik. Wanita itu pasti tahu kalau Dennis hanya berpura-pura saja.

Lalu Lintang tetap akan pergi.

Ya, semua masalah yang sudah di dengar Papanya hanya akan berakhir pada keputusan yang di buat sang tuan rumah. Papanya itu enggan mendengar pendapat orang lain. Terlebih Dennis.

Sebab dalam benak Bagas, Dennis tak lebih dari sekadar anak kecil bertubuh dewasa.

Well, ya... Lintang dan mendiang ibunya dulu sangat memanjakan Dennis.

"Kapan kamu berangkat, Lin?" lalu Bagas kembali pada poros pembahasan mereka sekarang.

Lintang tak tersenyum, kilat bimbang memang masih menghantuinya, dan Dennis adalah alasan utama dari semua kebimbangannya.

Different Taste (COMPLETE) Onde histórias criam vida. Descubra agora