SCENE FORTY TWO

1.3K 120 2
                                    

omo omo tinggal dikit lagi chapternya. makin ga rela updateee~~

Enjoy Reading~

~~

Sebuah suara membuat kedua wanita itu menoleh. Mike berdiri di ambang pintu mendengar seluruhnya. Ternyata keputusannya membatalkan pertemuan penting itu adalah tepat. Ia kini mengetahui fakta yang sebenarnya mengenai kehidupan putrinya.

"M-Mike?" ucap Elaine tergagap disela isaknya.

Mike berjalan ke hadapan Lucy. Ia memegang kedua bahunya, "Katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya."

Lucy menatap wajah Mike tanpa menghapus aliran air matanya. Ia menangis dalam diam. Tidak ingin berkata apapun. Mengucapkan kembali kata-kata itu akan membuatnya mengingat seluruh kejadiannya. Sampai saat ini, rasa sakitnya masih sangat terasa.

Cindy tiba-tiba menampakkan dirinya. "Ayahku memperkosanya."

**

        Ben khawatir jika Lucy akan disakiti oleh orang-orang yang pernah disakitinya. Sekuat apapun gadis itu, pasti tak akan sanggup melawan jika sudah lebih dari tiga orang yang menyerangnya. Dengan segera ia bangkit dari duduk dan keluar kelas, mencari sosok gadis itu.

       Perasaan lega menghampirinya saat dari kejauhan ia melihat Lucy berjalan sendirian. Namun beberapa saat kemudian ia menangkap ada yang berbeda dengan cara berjalan gadis itu. Ternyata kaki-kaki Lucy tidak mengarahkannya dengan lurus. Perlahan Ben berjalan mendekati tanpa melepas pandangannya untuk memastikan. Melihat arah yang diambil gadis itu, membuat Ben sadar jika gadis itu pasti sedang sakit.

       Langkah kaki Ben sudah berada tepat di belakang gadis itu. Saat hampir mencapai ruang kesehatan, tiba-tiba tubuh Lucy terhuyung ke depan, membuat Ben dengan sigap segera menahan tubuhnya agar wajah gadis itu tidak menyentuh lantai.

      Dengan perasaan cemas, Ben menggendongnya ke dalam ruang kesehatan dan membaringkannya. Ternyata gadis itu demam tinggi. Kulitnya terasa panas dan bibirnya pucat juga kering. Bulir-bulir keringat mengalir di sekitar wajah Lucy. "Ternyata kau juga bisa sakit," bisik Ben sambil menyelimutinya.

       Bahkan dalam sakitnya, gadis itu tetap keras kepala tidak ingin meminta bantuan siapapun, pikir Ben. Pria itu mengambil kompres dan meletakkan di kening Lucy. Sesaat ia menatap wajah yang tertidur itu. "Dalam keadaan sadar atau tidak, wajahmu selalu datar seperti ini," Ben terkekeh geli.

       Senyumnya berubah menjadi khawatir ketika Lucy bergerak gelisah dan kesakitan dalam tidurnya. Tidak ada suara atau apapun, hanya ekspresi wajah yang di tampilkan gadis itu, membuat Ben bisa ikut merasakan sakit. Apa yang dimimpikannya? Kejadian itukah? Menyaksikan wajah Lucy kesakitan membuat dirinya sesak, marah sekaligus sedih. Ia berharap berada di sampingnya saat Lucy mengalami semua itu.

       Salah satu tangan Ben menggenggam tangannya dan satunya lagi membuat gerakan mengelus kepala Lucy berkali-kali sampai gadis itu tenang kembali. Tepat setelah itu, dokter sekolah pun masuk. Ben menjelaskan keadaannya kepada dokter itu lalu pergi.

       Pemandangan wajah kesakitan Lucy belum bisa menghilang dari pikiran Ben, membuatnya tidak menyadari saat Cindy sudah berdiri tepat di hadapannya. Ben tersentak. "Hai," sapanya ramah.

       Cindy memilih tidak membalas. Ia terlanjur sakit hati dengan apa yang dilihatnya sejak tadi. Hatinya ingin memilih tidak percaya, bagaimana mungkin pria ini berubah demikian cepat. Ia yakin dari awal Ben menyukainya. Ia sudah pernah merasa kehilangan, dan ia tidak ingin merasakannya lagi. "Masih ingat dengan perjanjian yang kau buat setelah pesta dansa itu?"

       

       Ben mengerjap beberapa kali, tentu saja ia lupa. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan bersalah karena sepertinya ia tidak ingin lagi melanjutkan hal itu. Terdengar seperti pria brengsek memang, namun ia baru menyadari bahwa Lucy sudah menempati hatinya bahkan sejak lama. Tujuan awalnya pun hanya mencari pemilik hairpin itu yang tak lain milik Lucy.

       Perasaan Cindy semakin jatuh saat membaca ekspresi wajah Ben yang jelas-jelas menunjukkan akan menolaknya. "Kau tidak mungkin membatalkan itu, karena satu sekolah sudah mengetahuinya. Aku tahu kau menyukai saudara tiriku. Bagaimana jika aku memberimu waktu dua bulan?"

            Ucapan Cindy sepenuhnya benar ditelinga Ben. Dua bulan? Berakhir tepatsaat kelulusan, batin Ben. Masih adakah kesempatannya untuk mendekati gadiskecilnya? Sebuah pilihan yang sulit untuknya, namun ia tidak mungkinmengabaikan Cindy begitu saja.




hmm.... kira" apa keputusan Ben?

Aku suka ketawa" sendiri liat tanggapan pembacaku soal cerita ini. Sori bgt klo ad yg ga bisa kubalas. Karna akhir" ini aku sibuk. Jd aku cuma baca lewat notif email yang masuk.

Jangan sungkan buat ungkapin apapun yg kalian pikirkan soal cerita ini ya.

Karena saran apapun akan sangat berharga bagi aku.
Thanks 😘😘
Luph u all

Dont Forget The Votes Button

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Where stories live. Discover now