SCENE THIRTY EIGHT

1.2K 122 4
                                    

       Enjoy Reading~~

"Apa yang kudengar semuanya benar?"

       Alice tersenyum sinis, "Ternyata benar kau yang berada disana sejak tadi." Alice sudah melihat sosok mirip Ben berdiri tak jauh dari mereka dan rupanya benar.

       Sejak meninggalkan Cindy untuk berdua dengan ayahnya, Ben mendapati kedua gadis itu sedang berbicara. Awalnya ia bermaksud ingin bergabung, namun mendengar topik pembicaraan mereka, membuat Ben tertarik untuk mendengarnya. Ia yakin jika ia langsung menampakkan diri, maka pembicaraan itu pasti terhenti.

       "Kurasa pendengaranmu belum rusak," jawab Alice.

       "Apa yang terjadi sebenarnya padanya?"

         Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk mengatakan keseluruhannya pada Ben. Ia ingin pria ini tahu. Mengalirlah cerita tersebut dari bibir Alice. Satu per satu ia ucapkan secara detil. Membuat dirinya ikut merasakan sakit yang Lucy alami.

        Alice menyadari perubahan tubuh Ben saat ia menyelesaikan ceritanya. Tubuhnya yang berubah tegang dan otot rahanya berkedut menahan amarah. Ia ingin memaki seluruh orang yang berlalu lalang di rumah sakit itu.

       Ben berusaha mengatur napasnya dan memejamkan mata. Kepalanya terasa berputar. Ini tidak mungkin, ucapnya dalam hati berkali-kali. Gadis kecilnya selama ini hidup dalam kegelapan. Hatinya mendadak terasa sakit dan pilu. Bagaimana mungkin gadis sekecil itu sudah harus mengalami pahitnya hidup.

       Ia merasa tak sanggup lagi berdiri dari tempat duduknya. Sekujur tubuhnya terasa lemas, tanpa ia sadari, sedikiti air matanya menetes namun dengan cepat diusapnya. Alice sudah terisak sejak ia menceritakan kisah itu. Awalnya ia tidak ingin menceritakan secara keseluruhan, ia hanya ingin Ben tahu jika Lucy tak seburuk yang dipikirnya. Namun Ben memaksanya. Ia sendiri pun tak sanggup membayangkan jika berdiri di posisi Lucy.

       Dari sudut matanya, Alice menangkap sosok Lucy yang sudah kembali menemuinya. Dengan cepat ia menghapus air mata itu. Namun Lucy bisa melihat perubahan wajah Alice dan sosok Ben yang sedang duduk disampingnya sambil menunduk. "Ada apa dengan kalian?"

       "Tidak ada," jawab Alice cepat. "Apa ibumu sudah datang?" tanya Alice kembali sebelum Lucy bertanya tentangnya.

       "Semuanya sudah selesai. Alat-alat itu sudah dilepas dan ..." Lucy memilih untuk tidak melanjutkan perkataannya.

       Alice mengerti kelanjutan itu. Kemudian ia memeluk Lucy, "Semuanya sudah berakhir sekarang. Sudah berakhir."

       "Ya," sahut Lucy dengan suara pelan.

***

       

Awan – awan bergerak menutupi matahari membuat suasana pagi itu terasa mendung layaknya suasana hati keluarga dan kerabat Priceton. Kepergian pimpinan yang paling di segani itu pun meninggalkan kesedihan bagi mereka semua. Terutama Cindy.

       Sebagai putri kandung satu-satunya, ia masih belum bisa menerima sepenuhnya bahwa ayahnya kini sudah berada di dunia yang berbeda. Melihat jasad ayahnya tertutup oleh tanah membuatnya semakin histeris. Mereka yang melihat kejadian itu ikut menangis. Cindy memiliki harapan yang besar akan kesemubuhan ayahnya namun sekarang sirna semua. Seluruh kenangan tentang ayahnya kembali menghampiri pikirannya. Ayahnya yang selalu menemaninya bermain dulu bersama ibunya, memberikan ciuman sebelum tidur dan pergi sekolah, memarahinya saat ia melakukan kesalahan namun setelah itu memeluknya yang menangis. 

       Leesa terus memegang erat tubuh Cindy sejak tadi. Ia tahu Cindy pasti sudah kehabisan tenaga karena terus menangis. Ia pun turut bersedih melihatnya. Bagaimana mungkin Cindy bisa diberi cobaan begitu berat setelah apa yang dialaminya. "Kau harus tabah Cindy, kepergian ayahmu adalah demi kebaikanmu," ucapnya menenangkan sahabatnya yang kini sudah dalam pelukannya.

       Cindy mengerti maksud dari ucapan Leesa. Tidak ada ayahnya, tidak ada lagi alasan bagi Lucy untuk mengancamnya. Ia tahu dirinya harus bisa menerima kepergian ayahnya, namun hatinya belum siap.

       Upacara pemakaman diakhiri dengan datangnya hujan yang deras. Satu per satu tamu yang melayat memeluk Elaine dan Cindy sebagai tanda bela sungkawa. Setelah itu Leesa mengantar Cindy pulang ke rumahnya secara terpisah dengan Elaine. Leesa tahu, Cindy pasti tidak ingin bertemu dengan ibu tirinya terlebih dahulu.

       Lucy yang sedari tadi di rumah melihat kedatangan ibunya yang lebih dulu sampai. Elaine menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya sambil mendumal. "Lelah sekali harus berpura-pura mengeluarkan air mata. Seharusnya mereka senang, Charles tidak perlu lagi menderita terbaring di rumah sakit," ucapnya.

       "Haruskan mereka juga melakukan hal yang sama saat mom seperti itu nanti?" tanya Lucy pada ibunya.

       Elaine merasa tersinggung dengan ucapan Lucy. Ia berjalan mendekatinya. "Jadi kau menangisinya juga?" tanya Elaine dengan suara dingin.

       Lucy hanya menatap ibunya tenang. "Tidak." Sesaat Elaine hampir mengeluarkan senyumnya, namun Lucy kembali menjawab, "Tapi aku juga tidak merasa senang." Air muka Elaine kembali masam.

Sorry for late update guys 😔
Internet bermasalah kemarin karena lagi di ganti dengan fiber optik.

Dont Forget The Votes Button❤️❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang